Di suatu tempat, di sudut terdalam. Layaknya hati yang senantiasa berpenghuni. Di suatu waktu di depan komplek putri…
Mentari sore semakin tenggelam dalam pelukan awan. Terbenam, kemudian menghilang di telan zaman. Sang waktu kembali bertahta, mengizinkan siang menutup pintunya, memperkenankan malam membuka tirai gelapnya.
“Allahu Akbar…. Allahu Akbar…”
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…”
Azizah berbalik. Dilangkahkan kedua kakinya menuju hujroh ‘Aisyah. Kamar kecil minimalis yang terletak di sudut komplek C bawah. Diantara deret kamar para santri putri, hanya kamarnya yang terlihat selalu bersih dan rapi.
“Bismillahirrahmanirrahim..” Azizah memejamkan kedua matanya. Berdo’a.
Sebelum berbuka adalah waktu yang mustajabah untuk berdoa, begitu kata Pak Ustaz Najib Tafrichan saat ngaos Safinatun Najah bab puasa minggu yang lalu.
Diseruputnya segelas air putih itu. Azizah diam, tenang. Dalam bisu, hatinya bertasbih, bibirnya bergetar menjawab setiap lafal Adzan Maghrib yang menggema.
“Hayya ‘ala sholah…”
“Hayya ‘ala sholah..”
Maghrib datang menjemputku. Terima kasih Rabbi engkau izinkan ku kembali berjumpa dengan maghrib-Mu yang senantiasa mempesona. Ku penuhi panggilan cinta-Mu dengan berjuta rinduku. Meneteslah sebening embun dari sudut matanya. Hatinya bertahmid memuji kegungan-Nya. Cahaya iman begitu terang menyala dalam qalbunya.
Adzan Maghrib selesai menggema. Ditengadahkan kedua tangannya ke depan dada. Menghadap kiblat, Azizah tundukan kepala. Terdengar lirih lafal pengharapan yang mulai terlantun dari bibir kecilnya. Kepada Sang Pencipta terangkai sajak-sajak do’a.
“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-A’raf: 205)
***
Senja kembali hadir. Lembayung jingganya menyapu langit pesantren. Tuhan, Sang Pencipta terbaik kembali melukis kanvas yang luasnya tiada bertepi itu dengan keagungan-Nya yang sempurna tiada tara.
Tersungging segaris senyum dalam parasnya. Senyum yang selalu memikat siapapun yang menemukannya. Teduh memang air mukanya. Seteduh pelangi yang hadir setelah hujan reda. Bening nian kedua bola matanya.Sebening tetes embun di pagi buta. Kadang terlihat lembut meneduhkan, kadang terlihat tajam setajam tatapan elang yang terbang perkasa. Di kala malam menyapa, seakan ada cahaya purnama yang menyapu bayangnya. Bersinar diantara kerlip bintang. Dialah, Muhamad Zaky Anwar. Dalam dadanya tersimpan cinta yang tak biasa.
“Kang Zaky,… huh,.. huh,” napasnya terengah-engah. “Assalamualaikum, Kang.”
“Waalaikumsalam.. enten napa Kang?”
“Sampeyan suruh nganterin Umi ke bandara Ahmad Yani, Semarang,” terangnya lebih tenang.
Zaky pun melangkah cepat menuju parkir mobil. Meski masih diliputi beribu tanya, Zaky yakin pasti, Umi ke Bandara untuk menjemput Gus Wildan. Bukankah minggu lalu Umi pernah bercerita, dalam waktu dekat Gus Wildan akan pulang. Ya, setelah hampir 5 tahun mengais ilmu di Negeri Sungai Nil, ia akan pulang ke Indonesia.
Mobil Avanza hitam itu berjalan pelan. Berbelok ke kanan setelah melewati gerbang pesantren lalu melaju dengan kecepatan sedang. Menapaki aspal jalan raya yang mulus. Rodanya berputar dinamis, tenang. Setenang sang sopir yang mengemudi di balik kemudi.
Di luar sana. Dari kaca depan mobil terlihat sepasang merpati terbang indah mengepakkan sayapnya. Putih bersih bulu tubuhnya. Terbang rendah, tinggi merendah. Saling berkejaran dan bermesraan menikmati indahnya alam ciptaan Tuhan.
***
Pagi itu, suasana ruang makan rumah “Baiturrahman” begitu ramai. Seperti biasa. Anak-anak suci tanpa dosa itu telah siap dengan membawa piring mereka masing-masing. Dengan berseragam sekolah mereka berbaris memanjang menunggu antrean.
Ulya, gadis manis kelahiran Jepara itu pun menuangkan beberapa centong sayur bayam ke atas piring-piring. Asapnya yang segar membumbung tinggi, lembut menyapu hidung. Tak ada garis-garis duka yang menghiasi parasnya. Ya, semenjak 2 tahun yang lalu cukuplah itu menjadi ‘Amul Huzni bagi jiwanya. Tahun duka cita yang hampir memupus masa depannya.
Menjadi yatim dan piatu bukanlah pilihan hidupnya. Begitu pun dengan beberapa puluh anak yatim yang bernaung di atap rumah “Baiturrahman” ini. Sebab kehilangan selalu mewariskan kenangan.
Allah tak pernah salah berkehendak. Allah tak mungkin keliru melukis takdir. Semua terasa berat karena akal kita belum mampu mengambil hikmah terbaik dari setiap keadaan. Semua terasa ringan, ketika hati ini mau belajar untuk mengikhlaskan. Itulah sepenggal nasehat dari Bunda seminggu yang lalu, yang senantiasa ia ingat. Seminggu sebelum ruang makan itu benar-benar sepi. Seminggu sebelum duka menyelimuti atap teduh ini. Bunda tengah dirawat di rumah sakit.
Ulya tebangun dari lamunan panjangnya, “Mbak Zizah harus pulang, harus..!. Akan kukirim surat untukmu mbak. Kasihan Bunda..,” diusapnya bulir air mata yang deras mengalir. Lamunannya membentuk bayang Azizah yang tengah mengaji di pesantren, kemudian berganti menjadi bayangan Bunda yang tengah terbaring di rumah sakit.
***
Avanza hitam itu memasuki gerbang pesantren. Setelah melewati berbagai rangkaian acara penyambutan yang diadakan oleh para pengurus, Gus Wildan merebahkan dirinya. Jarum jam telah menunjukan pukul 12 malam, namun kedua matanya tak mampu terpejam. Ada suatu hal yang mengusik pikirnya. Sekuntum mawar yang dulu kuncup kini telah mekar merekah. Indah bersahaja.
“Pulang?. Tumben kamu minta pulang. Ini Gus Wildan baru saja sampai Indonesia loh, besok malam inshaAllah Umi akan adakan syukuran kecil-kecilan. Kamu nggak akan ikut, Zah?” potong Umi.
“Bunda,… Bunda… sakit Umi. Sudah seminggu.. terbaring di rumah sakit.” Kalimatnya tercekat. Tak kuasa baginya melanjutkan. Hening menyelimuti ruang tamu itu. Hanya terdengar suara Azizah yang menangis sesenggukan.Tangan kanannya menggenggam sepucuk surat dari Ulya, siang tadi.
“Innalillahi wa inna Ilaihi raji’un..” ucap Umi dan Gus Wildan hampir bebarengan.
Dipeluknya Azizah penuh sayang, ikut hanyut pada keadaan, “Yang sabar ya, Nduk,” ucap Umi.
Malam yang kelam. Ketika gelap semakin gulita. Avanza hitam itu kembali melaju. Bersama gerimis hujan, teriring doa pengharapan. Manusia memang mampu berencana tapi tetap, kuasa tetaplah ada di tangan Allah Azza wa Jalla.
***
Pusara itu masih basah. Wangi bunga-bunga semerbak menusuk hidung. Ditutupnya kitab suci itu. Yasin, Al-Waqi’ah dan Al-Mulk selesai dilantunkan. Pandangannya kosong menatap ke depan.
“Kang, sudah sebulan Bunda tidur di sini sendirian. Kasihan, setiap malam datang pasti Bunda kedinginan dan kesepian,” menunduk begitu dalam. Diantara rindu dan sendu, air matanya mengalir deras.
“Bundamu adalah orang baik, Zah. Bunda tidak akan kedinginan, lantunan ayat Qur’an dan tahlil yang kau dengungkan setiap malam akan menjadi teman dan selimut terhangat bagi beliau, Zah,” ucap Zaky menenangkan.
Hatinya serasa teriris memang, bila harus terus-menerus melihat Azizah berselimut air mata. Tapi, apa daya baginya? Hanya doa dan penjagaan yang mampu ia berikan. Di samping rasa cinta yang semakin membesar itu. Namun, entah. Azizah adalah Azizah. Tak ada yang pernah tahu kepada siapa cinta nya ia labuhkan. Zaky, semakin sadar diri bahwa Gus Wildan, bukanlah saingan yang tepat.
“Kamu harus kuat, Zah. Semakin engkau berduka semakin Bunda tak akan tenang di sana. Belajarlah mengikhlaskan sebagaimana Rasulullah ketika ditinggal Khadijah ra. Akang yakin, kamu pasti bisa. Allah memanggil Bunda duluan, tandanya Allah sayang sama Bunda dan nggak ingin Bunda terlalu lama merasakan sakit.”
“Iya, Mbak. Mbak Zizah harus kuat. Jangan pernah merasa sepi dan sendiri. Ada kami yang menemani,” ucap Ulya tiba-tiba.
Azizah menengok ke belakang. Dilihatnya Ulya dan beberapa anak-anak yatim piatu tengah berdiri, menatapnya penuh kasih. Berlari Azizah kepada mereka. Dicium dan dipeluk para adik asuhnya itu.
Sementara itu, tanpa mereka sadari. Ada sekelebat bayangan yang bersembunyi di balik pohon. Perhatiannya terfokus kepada Azizah dan Zaky. Gus Wildan mengawasi mereka dari kejauhan, selang beberapa menit kemudian ia melangkah pulang.
“Umi, seperti janjiku dulu, setamat ku merantau aku ingin menikah,” ucapnya tiba-tiba.
Umi Halimah terperanjat. Ditatapnya wajah putra satu-satunya itu. Beribu tanda tanya muncul dalam benaknya. “Niat yang baik Wildan, tapi apakah kamu sudah mendapatkan pilihan yang tepat?”
“Sudah Umi, Azizah pilihanku.”
“Azizah? Bukankah sudah hampir 5 tahun kalian tidak pernah berkomunikasi, dan baru beberapa minggu ini kalian bertemu?”
“Iya, Umi. Meskipun begitu aku tetap yakin, Azizah adalah pilihan yang tepat. Apakah Umi meragukannya?” Pikirannya teringat kepada peristiwa sore tadi di pemakaman.
“Tidak, Wildan. Tidak. Umi bahkan akan sangat merasa bahagia kamu bisa hidup bersama dengan Azizah. Tapi..” Umi menghela napas panjang “Apakah Azizah bersedia dan siap menjadi penyempurna agamamu, Wildan?” diucapnya kalimat tanya itu sepelan dan selembut mungkin.
“Umi yang akan mengatakan kepadanya untukku. Azizah adalah santri yang tawadhu’ dan patuh. Aku yakin, dia pasti akan menerima dan melaksanakan permintaan Umi..” jelasnya yakin.
“Wildan, perjodohan adalah legenda masa lalu. Peristiwa itu hadir di masa Umi dan Abi mu. Tapi, kini? Kehidupan terus berjalan. Cinta bukanlah hal yang mampu dipaksakan. Seperti halnya dirimu yang memilih, maka Azizah juga berhak memilih siapa yang akan menjadi tulang rusuk bagi hidupnya”.
“Sesuatu memang terkadang butuh dipaksakan agar kelak menjadi terbiasa. Begitu pun dengan cinta, Umi. Ia akan tumbuh dan bersemi seiring bergulirnya hari. Wildan ingin Umi mengatakan keinginan ku ini kepada Azizah, jikalau memang Azizah tidak bersedia tak mengapa Umi. InshaAllah aku siap menerima apapun keputusannya.”
“Baiklah, jika semua telah engkau pikirkan matang-matang. Semakin mendekatlah kepada Allah. Mohon kepadanya kekuatan dan petunjuk terbaik”.
Malam itu,
Malam berbintang. Pesonanya terlalu indah untuk mampu dilukiskan lewat bait kata. Kanvas biru yang terhampar bersama gemerlap cahaya semesta seperti hendak mengisahkan bermacam rasa setiap insan yang terpaut kala itu. Antara duka di hati Zaky, juga bahagia di jiwa Gus Wildan.
Paras Azizah yang tak pernah terpoles sedikitpun oleh berbagai merk kecantikan, kini semakin terpancar pesona indahnya. Anggun bersama balutan gaun pengantin putih yang syar’i itu. Terus menunduk dan menunduk. Entah. Tak ada yang tahu apa isi hatinya kini. Di malam yang lalu, setelah Umi Halimah dan Gus Wildan bertandang ke rumahnya. Khitbah itu diterima Azizah dengan lapang dada. Bukan. Bukan berdasar cinta Azizah menganggukkan kepala. Namun, lebih tepatnya karena ta’dhimnya kepada Umi Halimah. Azizah mencintai Umi, sebesar ia mencintai Bundanya sendiri. Tak pernah sedikitpun terbesit dalam benaknya untuk melukai hati Umi. Menolak permintaannya, berarti mengecewakan hatinya.
Menetes bulir bening dari sudut matanya.
“Mbak Zizah, pasti bahagia sekali hari ini. Sudah jangan menangis, nanti bedaknya luntur. Sebentar lagi prosesi akad akan dimulai,” ucap Ulya di kamar pengantin sambil mengusap pipi Azizah yang kini basah oleh air mata.
Oh Ulya, andai mampu ku buka pintu hati Azizah, kan ku perlihatkan padamu bahwa hanya lafal Muhamad Zaky Anwar yang memenuhi singgasana hatinya kini.
Saat yang ditunggu pun tiba. Azizah dengan ditemani Ulya, duduk bersebelahan dengan Gus Wildan yang juga di temani Zaky. Ruang tengah aula pesantren itu penuh sesak oleh para tamu undangan yang terdiri dari beberapa santri yang diasuh Umi Halimah dan anak yatim piatu “Baiturrahman”. Sementara Gus Wildan mengundang beberapa temannya saja.
Beberapa menit sebelum lafal akad nikah itu diucapkan, tiba-tiba Gus Wildan menyuruh Zaky untuk menggantikan posisi duduknya.
“Untuk apa, Gus?” bisiknya dengan keheranan.
“Sebentar saja, aku ada perlu,” ucapnya jelas.
“Tapi,.. Gus,” tak selesai kalimatnya ia ucapkan, Gus Wil menarik lengan Zaky dan mendudukannya di sebelah Azizah.
Gus Wildan bangkit berdiri kemudian berkata kepada para hadirin, “Assalamualaikum wr. wb. minta perhatian sebentar, para hadirin yang saya hormati. Seperti yang kalian ketahui, kehadiran Anda semua bukanlah untuk menjadi saksi pernikahan ku dengan Azizah. Tapi, kita di sini untuk menjadi saksi bersatunya jalinan cinta dan sayang yang sah secara syari’at Islam antara Muhamad Zaky Anwar dengan Lina Anissatul ‘Azizah,” ucap Gus Wildan mantap dan lantang.
Semua orang terperanjat. Tak terkecuali Zaky yang bangkit dari duduknya, “Maksud semua ini apa, Gus? Aku tak mungkin menikah dengan Azizah?!” ucap Zaky lantang kepada para hadirin.
“Kenapa tidak, Zak? Semua ini sudah aku persiapkan sejak dahulu. Azizah dan dirimu sudah kuanggap adik sendiri. Aku memang mencintai Azizah, namun cintaku kepadanya tak lebih dari cinta seorang kakak kepada adiknya. Sebelum keberangkatanku ke Mesir, beberapa bulan ke depan, aku ingin melihat adikku bahagia dapat hidup bersama pilihan hidupnya. Kalian adalah sepasang insan yang sempurna bersatu. Engkau mencintai Azizah sebagaimana ia juga mencintaimu. Zaky, temani Azizah dalam berjuang mencintai anak yatim. Wariskan generasi Islam yang berkualitas dan berakhlakul karimah lewat ikatan ini,” Gus Wildan tersenyum sambil menepuk pundak Zaky.
Semua dibuat terkejut oleh keputusan Gus Wildan. Tak terkecuali Umi yang tak pernah tahu mengenai rencana anak semata wayangnya itu. Zaky jatuh bersimpuh, bergetar kedua kakinya tak kuat menahan rasa. Mencintai dalam diam. Hanya kepada Allahlah ia pasrahkan segalanya. Ia bersujud menghadap kiblat. Kalimat tahmid dan tasbih terucap tulus. Semua hadirin dibuat terharu olehnya.
Azizah semakin dalam menunduk. Tangis yang ditahannya sedari tadi kini tumpah ruah. Dipandanginya wajah Umi Halimah dengan derai air mata bahagia. Umi yang juga menangis, kini memeluk Azizah. Meredakan tangisnya, “Kamu bahagia to, Nduk?”
Katakanlah, “Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu nyatakan, Allah pasti mengetahuinya.” (Q.S. Ali Imran 3:29).
Mencintai dalam diam adalah bukan tentang aku mencarimu atau engkau yang menemukanku… Tapi teruslah berikhtiarlah memperbaiki diri, agar suatu saat nanti, yang ku ingin hanya… Allahlah yang memempertemukan kita dalam ridho-Nya..
***