Beranda Cerpen Seberkas Cahaya Pesantren (Cerpen)

Seberkas Cahaya Pesantren (Cerpen)

748
0

Setelah perjanjian minggu lalu, mama benar mengajakku ke tempat yang dibilang mama pesantren itu. Kami berangkat setelah mama mengajar di kampus. Tempatnya aneh, karena semua orang menggunakan sarung dan kopiah. Mama memang aneh. Tempat macam apa ini? Masa aku mau ditinggalin di sini? Di tempat yang aneh ini, aku melihat banyak orang dan hanya tinggal di bawah satu atap. Apakah mereka muat tidur bersamaan di bawah satu atap? Aku masih bertanya-tanya. Mama mengajakku masuk ke sebuah rumah. Terlihat suami istri yang nampak bahagia, didalamnya. Di sana mama berbincang akrab dengan dua orang tersebut. Aku hanya diam dan seolah-olah tidak mendengar.

“Begini Pak Kiai, tujuan datangnya saya dan putri saya kemari, pertama ingin silaturrahmi. Kedua, saya hendak menitipkan anak saya, karena saya menginginkan dia menjadi orang baik dan berguna, Pak Kiai,” ucap Mama kepada orang itu, yang membuatku shock karena Mama benar-benar mau ninggalin Aku sendiri di tempat ini.
“Alhamdulillah. Terima kasih atas kedatangan Ibu dan putri ibu kemari. Coba tanyakan terlebih dahulu pada putri Ibu, apakah mau dipondokkan di sini?” ucap Pak Kiai itu.
“Insya Allah. Monika sudah mau masuk pesantren, minta bimbingannya dari Pak Kiai. Bagaimana anak ini, saya serahkan kepada Pak Kiai,” ucap Mama.
“Ibu, serahkan kepada Yang Maha Kuasa. Di sini Saya hanya bisa membantu sedikit. Ya… do’akan saja semoga putri Ibu bisa menjadi anak yang sholehah dan bisa membanggakan kedua orang tua. Aamiin,” tutur Pak Kiai.
Aamiin. Terima kasih juga, Pak Kiai sudah mau menerima putri saya. Sekiranya ini sudah cukup Pak Kiai dan kelihatannya langit sudah hampir gelap, saya mohon pamit,” ucap Mama.
“Oh iya Ibu. Hati-hati dijalan. Jika ada apa-apa bisa hubungi kami yang ada di pesantren,” tutur Pak Kiai.
“Insya Allah, Pak Kiai. Terima kasih atas wejangannya. Assalamu’alaikum,” pamit Mama.
Wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarakatuh,” sahut Pak Kiai.

Setelah berpamitan dengan Pak Kiai, mama langsung beranjak pulang dan memelukku.
“Jaga kesehatan ya Monika. Nanti kalau ada waktu, Mama akan jenguk kamu.”
Aku merasa kehilangan dan sedih ketika mobil mama mulai menghilang dari hadapanku. Tapi Aku ingat betul janji mama. Jika sudah 40 hari, mama akan menjemputku pulang.
Pak Kiai meminta mbak-mbak mengantarku ke kamar. Aku merasa risih karena satu kamar ditempati sekitar 30 orang.
“Gimana mau tidur, kalo dijadikan satu!” gerutuku.


Hari pertama di pesantren Aku bangun telat. Aku belum sholat subuh. Bahkan Aku lupa caranya sholat itu seperti apa.
“Monika, bangun yuk. Sholat jamaah,” ajak orang disebelahku.
“Apaan sih, Gue ngantuk. Sana lo pergi. Gue mau tidur,” ketusku.
“Monika, nanti kamu dimarahin pengurus loh,” ucapnya seakan-akan menakutiku.
“Halah… Siapa pengurus? Pengurus rumahan?” cercaku.
“Yaudahlah kalau nggak mau bangun. Aku tinggal ya. Nanti kalau butuh apa-apa panggil aku aja. Oh iya, kenalin namaku Sofia,” jelasnya panjang lebar.
“Hmmm…” setengah ngantuk Aku menjawab omelannya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini