pptialfalah.id – Pinggiran sungai kecil menjadi saksi kelu atas waktu luang yang dibuang sia-sia oleh Mas Gening. Lempar demi lempar kerikil kian menyelam nan membenam menuju dasar sungai yang dangkal. Sekadar tatap kosong melompong di setiap durasi yang berlayar. Air sungai memang bening, tapi nyatanya yang keruh hanya angan-angan Mas Gening yang sibuk memutar di atas kepala. Sudah dewasa, yang lain sudah bekerja, tapi dirinya hanya diperbudak hayalan semata. Mas Gening anak orang kaya, tapi miskin cita-cita. Tak berbekal apa-apa, bahkan sepotong roti tawar tanpa rasa saja tak mau dilirik laki-laki itu. Pada kerikil terakhir yang hendak melambung dan terjun bebas, mendadak terdapat botol bening datang dari arah Utara. Gulungan kertas yang berada di dalam botol ikut terbawa arus sampai kelopak mata Mas Gening menyipit tuk memastikan.
Terbirit-birit jua Mas Gening mengejar botol yang semakin menuju muara, tergopoh-gopoh sampai celana panjangnya terpoles air. Botol bening kian sampai pada genggaman si tuan yang semenjak dulu hanya menggenggam bayang-bayang tanpa kepastian. Pada detik yang dipenuhi rasa penasaran dia membuka tutup botol, lalu duduk di atas batu sungai. “Bisakah aku dibelikan cita-cita?” tanyanya sembari mengerutkan dahi. Begitu kalimat pesan yang tertulis di kertas yang masuk ke dalam manik mata, dia menatap pohon di tepi sungai yang kerap jadi sandaran kegelisahannya. “Apa ini surat dari Tuhan untukku?”
Terdengar bunyi gesekan sandal jepit yang datang dari arah semak-semak, lantas Mas Gening menoleh serempak dengan seorang Bapak Tua yang menampakkan diri. Hendak menuju pekarangan samping sungai, Bapak Tua itu berbekal sabit tajam di genggaman tangan kanan. “Mau sampai kapan nemenin saya di sini terus?” tanya Pak Tua sekadar melirik Mas Gening. Seirama dengan rotasi bumi yang mengganti siang bergilir malam, laki-laki yang miskin cita-cita di sana betah-betah saja bersama Pak Tua. Jadi teman yang mencipta deretan obrolan panjang, memoles senda gurau, adakalanya turut bantu kepada Pak Tua tuk menanam bibit jagung kala itu. Sampai-sampai kebanyakan ampas hari seorang Mas Gening diisi suntuk yang menumpuk. “Pak Tua, ada surat dari Tuhan untuk saya,” katanya sambil mengadu, lalu disusul tawa kecil dari lawan bicara.
“Ternyata Tuhan tidak lupa kalau kamu pengangguran,” sahut Pak Tua setelah membaca surat kecil milik si tuan. “Pergilah ke Taman Pendidikan. Katanya mau jadi Kyai?”
“Oh, sampai lupa kalau aku punya cita-cita.”
“Kamu punya cita-cita, tapi tak punya usaha.” Pak Tua merampas rumput liar dengan lincahnya. “Mungkin pohon yang kamu jadikan senderan setiap hari itu juga muak melihatmu tak punya arah.”
Mas Gening melempar pandang pada pohon besar. “Sebelum jadi Kyai, saya ingin ke puncak gunung dahulu.” Dia menunduk disusul seteguk air liur. “Biar kakiku buas menginjak negeri di atas awan, biar kakiku jinak meraih cita-cita di sebelah bintang, biar mataku tajam memandang ke depan meskipun kabut tebal menghadang, biar tanganku piawai menggenggam tekad sampai puncak. Begitu kiranya.”
Pak Tua terkekeh. “Semoga kerak gunung sudi-sudi saja tuk diinjakmu.”
Mas Gening meninjau langit sekiranya dalam sukma ada rasa yang menggebu-gebu hendak menjumpai awan kapas di atas. Sejatinya petuah Pak Tua amat memberkas pada ingatannya, seolah bujuk dan rayu ada dalam setiap patah kata yang terucap. Mas Gening berjalan perlahan menjauh dari obrolan di sana; melewati himpitan semak-semak dan banyak kerikil yang berserakan jua. Tidak ada mendung, sorot mentari sore berhasil mencerkau bayangan Mas Gening dengan laju hambarnya.
“Gening!” teriak sosok dari samping pohon mangga yang tak jauh dari sandal jepit pria itu berpijak. “Loh? Itu benar! Dia Mas Gening!” Sontak giras nan gencar para pemuda itu melihat lakon utama yang kebingungan.
Mas Gening sekadar diam seribu bahasa. Asing, mereka yang berlarian menuju hadapannya tak pernah tersimpan dalam memori. “Mas Gening! Kamu itu dicariin Pak Kyai, selama ini ke mana saja? Hampir saja aku mencarimu sampai ke negeri Cina.” Begitu hiperbola yang diucapkan salah satu pemuda berpeci di sana.
“Kalian siapa?” Dia menyisir tatapan.
Seakan tak terlena dengan alasan yang baru saja dikumandangkan, para pemuda malah tertawa. “Haduh, Mas! Saya tahu kamu itu suka bercanda, tapi kalau setelah hilang dari pesantren berbulan-bulan terus pura-pura tak mengenal, ya, mana ada yang percaya?” Mereka berlanjut terkekeh. “Kita ini biasa masak bareng, makan bareng. Bahkan aku tak pernah lupa sendalku di-ghosob sama Mas Gening. Ghosob dulu, ghosob lagi, ghosob terus.”
Malah jadi tempat curhat di jalan kecil itu, tapi si lakon utama hanya mengernyit tak mengerti. “Mas Gening rutin nitip cucian ke saya,” lanjut pemuda yang lain, “meskipun misuh-misuh dulu, tapi tetap saya cucikan bajumu itu.”
Belum selesai jua, songkok-songkok hitam yang menghias pada setiap kepala kini menyita perhatian Pak Tua yang hendak berpulang menuju rumah. “Mas Gening itu hobi garuk-garuk pas mau tidur! Kita tidak pernah lupa! Hahaha ….” Tiba-tiba suara kerikil pelan-pelan datang nan menyapa rungu para pemuda, termasuk Mas Gening sendiri ikut menoleh. “Dia amnesia, hidupnya seperti tak punya arah. Persis orang gila,” kata Pak Tua lugas sambil menatap si lakon utama dengan senyum kecil.
Para pemuda serentak paham. “Apa yang terjadi dengan Mas Gening selama berbulan-bulan di sini?”
“Dia hanya berteman dengan pohon di sana dan ladangku saja.” Pak Tua malah tertawa. “Jadi, dia santri yang hilang?”
“Benar, tidak ada yang menyadari kapan Mas Gening keluar dari pesantren. Jelasnya saat Pak Kyai menanyakan di mana Mas Gening saat itu karena tak kelihatan batang hidungnya,” ungkap pemuda itu.
Pak tua memberi narasi, “Biar kujelaskan. Jauh-jauh hari, dia mengalami kecelakaan di perempatan kota, lalu aku yang membawanya. Pulanglah, ada yang menunggumu di pesantren.” Semenjak sekon itu langkah Mas Gening digiring oleh sekelompok pemuda santri menuju tempat timbaan ilmunya selama tujuh tahun.
Remah-remah petang hendak memeluk malam, sorot mentari yang sedari tadi mencerkau bayangan Mas Gening kini bersembunyi di balik bumi. “Silakan masuk, Mas. Di dalam ada Pak Kyai, kamu biasa berbincang dengan beliau.”
Mas Gening merasa didorong paksa raganya menuju pintu masuk rumah mulia di sana. Sejatinya dia hanya mengingat dirinya sendiri yang berkelana tak punya tujuan. “Tapi …, rasanya tak asing.” Mas Gening mendongak, lalu menyisir tatap yang melingkung sekitar ruang tamu.
Berlama-lama dia termenung serta hanya berteman detik jam dinding di samping kiri. Kian rungunya merespons bunyi gesekan suara gesekan sandal jepit yang semakin jelas menyita perhatian. “Parfum ini …,” gumamnya seusai semerbak wewangian menyelinap indra penciuman. Habis akal rasanya, pun sedari tadi tak ada pemberontakan dalam dirinya. Mas Gening tertegun kemudian, sorot matanya berpusat pada presensi laki-laki gagah bersorban putih yang ikut duduk di hadapan. Termasyhur diam-diam saja Mas Gening tak berani angkat bicara. “Pak Kyai?” lirihnya, ”saya mengingatnya.”
Pak Kyai memberi senyum. “Hatimu yang membawamu ke sini,” katanya berlanjut tertawa kecil.
Mas Gening serentak berlutut; turun dari kursi kayu di sana. “Assalamu’alaikum, Pak Kyai,” salamnya sembari meminta jabat tangan.
“Tak perlu memberi salam lagi, aku sudah menjawab salam dari hatimu saat kakimu menginjak ambang pintu sejak tadi,” ungkap Pak Kyai tak bosan tersenyum. “Bagaimana harimu tanpa titahku? Damai?”
“Sama sekali tidak, saya tak punya arah.”
Suara tawa singkat dari Pak Kyai menghias suasana. “Hiduplah dengan sederhana, tetapi bermanfaat bagi orang lain. Pergilah ke Taman Pendidikan samping pesantren, mereka membutuhkanmu.” Terasa damai tak ada bising-bising walaupun hanya satu detik lamanya. Mas Gening khidmat menunduk sampai menyembunyikan rupa. “Saya akan pergi ke sana sesuai perintah Pak Kyai.”
“Selama jadi pengangguran, sudah dapat surat kecil dari Tuhan?” tanya Pak Kyai pelan. Sontak Mas Gening bergetar pupil matanya yang kini bertembung tatap dengan Pak Kyai. “Surat yang mengalir dari sungai panjang yang bersih, itu surat dariku, khusus untukmu. Pulanglah ke sini, karena memang di sini kamu merasa damai.”
Mas Gening sekadar tersenyum meskipun sebelummya tercenung lama. Ternyata memang surat Tuhan yang turun lewat Pak Kyai; sosok mulia yang titahnya selalu masuk dalam tempurung dirinya. Kini ia jadi punya tujuan setelah kembali pada kehidupan yang seharusnya Mas Gening jalani.