Beranda Cerpen Kisah Di Dapur Pondok

Kisah Di Dapur Pondok

403
0

Malam semakin larut. Kicauan burung berganti dengan suara jangkrik menghiasi langit gelap. Sebagian lampu sudah dinyalakan untuk penerangan, sebagiannya lagi sudah dimatikan untuk menemani lelap dalam buaian mimpi.

Beberapa kegiatan di pondok juga masih terus berlanjut. Sebagian ada yang mengistirahatkan badan guna mempersiapkan hari esok. Sebagian ada yang mengambil wudhu, menggelar sejadah, mendirikan shalat dua rakaat, mengadahkan tangan pada Yang Maha Kuasa. Sebagian ada yang membuka halaman demi halaman Al-Quran, meresapinya dalam hati dan pikiran. Sebagian ada yang seperti Ali dan adik-adik santri Ula, masih semangat membuka lembaran kitab, mencermati setiap kalimat dengan seksama. Atau, ada yang seperti Abdul, yang setia mencurahkan tenaganya di dapur setiap malam demi memastikan para santri mendapatkan jatah sarapan mereka untuk keesokan hari.

Apapun itu, Insya Allah, dihitung ibadah. Mereka datang dari kampung halaman yang berbeda, tapi bersatu di tempat yang sama dengan satu tujuan, tholabul ilmi. Setiap langkah tegap mereka, terdapat tekad yang kuat untuk menjadi pribadi santri yang lebih baik. Hembusan napas mereka, mengandung berjuta untaian doa ibu yang dipanjatkan dalam sujud, berharap anak-anak mereka sehat dan diberi kelancaran dalam segala urusan. Hari demi hari mereka lalui, hingga takdir menugaskan mereka tuk mengabdi Lillahi Ta‟ala.

“Dul, air panasnya dimana?”

Abdul menoleh, “Pojok kiri, termos biru.” Dilihatnya Ali dengan cekatan menuang sebungkus kopi kemasan ke gelas lalu menyeduhnya dengan air panas. “Memangnya ngaji Pak Yusuf sampai tengah malam lagi?”

Ali menggeleng, “Ngaji Pak Yusuf hanya sampai malam Rabu, malam ini aku diminta untuk membina beberapa adik santri Ula yang akan mengikuti lomba qiro’atul kutub dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional yang diadakan pemerintah kota pekan depan. Awalnya malah aku ditempatkan bersama santri yang akan mewakili kelas Wustho, tapi aku belum cukup percaya diri, tahun depan saja, Insya Allah.

Mata Abdul berbinar. Setiap tahun pasti selalu saja ada perkembangan signifikan mengenai peringatan hari santri, semakin meriah dan melibatkan banyak pihak. Dari yang hanya shalawatan di pondok, pawai, hingga sekarang dengan kegiatan yang bervariasi.

“Selain qiro’atul kutub, ada juga lomba cover shalawat, lomba da’i, lomba kaligrafi, dan lomba-lomba lain. Apalagi…“ Ali terus berceloteh riang menceritakan hebohnya para santri mempersiapkan ini itu.

Abdul setia mendengarkan sambil terus mengaduk memanaskan sambal terong. Tapi semakin lama, gerakannya semakin pelan. Spatula kayu yang dipegangnya terasa semakin berat. Telinga dan hati Abdul gerah mendengar setiap kata yang keluar dari Ali dengan begitu mudahnya.

Teringat masa-masa saat dulu ia masih aktif mengaji dan mengikuti berbagai kegiatan pondok. Saat ia dengan semangat melangkahkan kakinya ke kelas sambil membawa kitab. Saat ia selalu mengajak teman-temannya untuk belajar meski tak ada jam kelas. Saat ia menjadi penunggu jemuran demi mampu menghafal di tempat yang tenang. Saat ia dan Ali sering bertengkar karena pulpen yang tertukar atau kitab yang tertinggal. Atau saat ia membuat teh atau kopi untuk guru tercintanya.

Lama kelamaan, Abdul akhirnya menjadi lebih sering berada di dapur. Saat ini ia lebih leluasa memotong se-keranjang bawang ketimbang memaknani kitab dengan tulisan kecil-kecil. Sekarang ia lebih sering berbicara tentang menu masakan dan harga sayur dibanding fiqih dan nahwu-shorof.

“Dul! Mukamu kosong begitu, takut aku.” Ali mengguncang bahu Abdul pelan, “Maaf, salahku tidak memperhatikan. Langsung main bicara saja tanpa melihat tanggapanmu.”

“Tidak ada yang salah.” Abdul mematikan kompor, lalu menuang sambal terong ke wadah besar. “Aku hanya teringat masa-masa dulu, saat aku masih aktif mengaji. Coba kamu lihat aku sekarang, jangankan membuka kitab, memandangnya saja aku sudah Alhamdulillah. Kamu beruntung sekali, Li, masih leluasa mengikuti bermacam kegiatan tanpa harus melihat terlebih dahulu kondisi dapur.”

Ali tercengang, “Lho, Dul. Justru kamu harus bangga menjadi seorang kang-kang dapur. Tanpa kamu, aku gak sarapan tiap pagi. Seharian jadi lesu, dan uangku akan cepat habis karena terpaksa harus membeli makanan. Peranmu sangat dibutuhkan di pondok ini.”

Abdul hanya diam saja saat Ali bercerita tentang kyai dan ulama yang menjadi mulia karena pengabdian beliau-beliau pada guru, agama, dan negara. Ia diam saja saat Ali dihampiri salah satu santri dan berpamitan karena harus segera kembali ke kelas.

Kini, di dapur tersisa Abdul seorang. Beberapa santri yang sudah menyelesaikan jatah piket dapur juga telah kembali ke kamar. Abdul melirik jam dinding yang terpampang di dinding putih kusam penuh noda asap, seharusnya santri yang bertugas memasak nasi malam ini sudah datang. Abdul mengambil panci khusus nasi dengan kasar. Malam-malam, sendirian, ditambah dengan amanah dapur tiada henti, juga pikiran yang berkecamuk, membuat Abdul gundah tiada tara. Disaat ia capek-capek di dapur, Ali dan santri-santri lain malah enak tidur atau menikmati indahnya mencari ilmu.

Dua orang santri mendekati Abdul, “Kang Abdul, biar saya dan Ziyad saja yang memasak nasi, kami jatah piket hari ini.”

“Sudah tahu kalian yang bertugas, kenapa datang telat?!”

….

Beberapa terakhir ini, menyebar gossip terbaru. Topik utamanya adalah Abdul, kang-kang dapur yang tadinya ramah dan sabar melayani puluhan santri di dapur, kini berubah menjadi sosok lelaki bertubuh besar yang mudah emosi dan tidak sabaran.

Susana dapur berubah, dari yang biasanya ramai seperti di pasar, kini semua orang seakan berhati-hati agar tidak menyenggol atau bersuara sepatah katapun agar tidak mendapatkan tatapan tajam dari Abdul. Santri-santri yang mulai mendekati jadwal piket dapur ketar-ketir. Emosi dan kesabaran Abdul yang tidak stabil membuat apapun yang mereka lakukan menjadi serba salah.

Menu dapur juga jadi berbeda. Nasi yang kadang terlalu keras atau terlalu lembek, sayur sop yang hambar, sambal terong yang terlalu asin, dan bentuk tempe goreng beraneka rupa, entah kurang lama digoreng, gosong, atau ketumpahan adonan tepung.

Desas-desus itu sampai juga pada telinga Ali, selama ini ia sibuk dengan adik-adik santrinya setiap sehabis ngaji. Sebagai sesama teman seperjuangan, dimana mereka mendaftar dan masuk pondok bersama, mengaji di kelas yang sama, tidur dalam satu kamar yang sama, tentu Ali tidak akan tinggal diam.

Sepulang membina adik-adik santri, Ali beranjak ke dapur. Membuat alasan menyeduh kopi. Setibanya disana, apa yang didengarnya dari banyak orang ternyata tidak dilebih-lebihkan. Abdul berbeda. Ali sendiri terkaget menengar ucapan dan intonasi Abdul yang meledak-ledak.

“Heh, yang namanya wortel untuk sayur sop itu dipotong biasa, bukan diparut! Memangnya siapa yang mau bikin bakwan?! Kamu juga sama saja, menyapu itu yang benar! Masa iya aku harus menyapu ulang agar dapar ini bersih?!” Suara Abdul tersebar ke setiap sudut dapur.

Setelah menunggu beberapa saat sambil menikmati secangkir kopi, Ali beranjak menghampiri Abdul yang tengah meladeni setumpuk cucian alat masak kotor yang menagih untuk dibersihkan. Ali menggulung lengan bajunya dan meraih alat masak yang telah disabuni Abdul. Ali tersenyum saja saat Abdul memandangnya heran. “Ngapain kamu disini, Li? Udah bosan ngaji, ya?”

Ali tergelak, kini sepertinya ia mengerti apa yang sedang dialami sahabatnya, “Tidak, aku gak akan bosan mengaji, Dul. Cuma lagi ingin memanfaatkan waktu luang saja, lumayan kan, bantu-bantu kamu sambil mengobrol dan bercerita tentang masa lalu.”

Abdul mendorong Ali pelan, “Kamu minggir saja, murajaah hafalanmu, duduk di kursi pojok sana. Kalau kamu membantuku yang ada tanganmu malah keriput. Lagipula tanpa dibantu pun aku bisa menyelesaikan pekerjaanku sendiri.”

“Termasuk menyelesaikan pekerjaan dalam pikiranmu itu, Dul? Yakin kamu bisa menyelesaikannya sendiri? Kamu mengerti kan, maksud dari ‘pekerjaan’ yang kumaksud itu apa?” Ali mengangkat alis. “Meski aku tidak bisa memberikan solusi, setidaknya kamu cerita, Dul. Dengan begitu pikiran dan perasaanmu akan terasa lebih ringan.”

Abdul langsung menyadari arah pembicaraan Ali, “Sudahlah, biarkan aku sendiri yang menyelesaikannya. Jangan sampai masalahku menjadi masalahmu juga.”

“Waduh, sudah terlanjur, Dul. Bukan hanya jadi masalahku saja, tapi sudah jadi masalah se-pondok. Masa iya kami harus makan sayur sop hambar karena kamu lupa memberi garam? Atau jangan-jangan kamu tertukar, malah sambal terong yang kamu beri garam lagi hingga keasinan? Bagaimana juga dengan menu favoritku, nasi dan tempe goreng yang hangat? Bagaiamana dengan santri jatah piket yang was-was harus selalu menjaga dirinya agar tidak kena semprot ‘kang dapur’ yang galak?” Ali terus membeberkan fakta-fakta yang terjadi belakangan ini. “Ini sudah berjalan sekitar 3 hari, masih yakin kamu bisa menyelesaikannya sendiri?”

Abdul tercengang, “Apa iya, aku jadi separah itu? Maaf, mungkin aku terlalu larut dalam masalah yang kubuat sendiri.”

Abdul menarik napas panjang, dibukanya tirai jendela dapur sehingga angin malam bisa dengan mudahnya masuk. “Aku hanya merasa tidak menjadi apa-apa. Coba lihat teman-teman kita, mereka keren. Ngaji sampai malam, beberapa sudah ada yang diangkat sebagai pembina, entah pembina asrama, atau pengajar, termasuk kamu, Li. Sementara aku selalu begini saja, bau dapur, berhadapan dengan bahan dan alat masak. Aku Cuma seorang ‘kang dapur’ biasa.”

“Dul, kamu ingat tidak, saat kita kelas 3 Ula dulu? Saat itu jam ngajinya Gus Hikam, ada kata-kata yang selalu aku pegang sekarang agar terus menjalani apa yang sudah ditetapkan-Nya, ‘takdir terbaik adalah apa yang kita jalani’.” Ali menerawang menatap jauh keluar jendela, menatap kerlip bintang.

“Kelas 3 Ula ya? Mungkin itu salah satu masa paling bermakna. Sekarang sudah pada mencar semua ya? Sisa kita berdua di pondok ini, semua sudah menjalani takdir masing-masing.” Abdul mengikuti arah tatapan Ali.

“Nah kamu baru saja menyebutkan kata kuncinya, yaitu takdir masing- masing. Siapa yang menentukan takdir kita? Allah. Alur hidup kita sudah ditentukan oleh penulis skenario terbaik.” Ali merangkul Abdul, “Satu lagi, dengan kamu menjadi ‘kang dapur’, artinya kamu sudah mengabdi pada pondok ini. Bahkan kalau diniati dan dikerjakan dengan ikhlas, pahalamu jauh lebih besar dibanding santri biasa yang sedang menuntut ilmu. Dengan mengaji, insya Allah akan mendapat ilmu, tapi dengan mengabdi, insya Allah akan mendapatkan berkah.”

“Benar juga, seharusnya aku jalani saja dengan ikhlas ya? Ini kan takdir terbaik yang diberikan Allah untukku sekarang,” Abdul mengangguk-angguk. “Giliran aku yang menambahkan, Li. Semua pekerjaan itu ada baiknya dikerjakan sampai tuntas. Hayoo, mau kemana? Cucian kotor ini belum selsai semua loh, kenapa kamu makin deket ke arah pintu?”

“Ya Allah, lancarkanlah segala urusan Abdul, Aamiin.” Lalu Ali berlari keluar dapur diikuti sorak dan gelak Abdul.

Penulis: Nisrin Hedianto Satria

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini