Pondok Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang memiliki peran penting dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Di pondok pesantren santri-santri dididik untuk menjadi individu yang berintelektual dan berakhlakul karimah.
“Assholatuuu khoirumminannauuumm..”
Gema adzan di pagi hari menyapa bumi menandakan bahwa kesempatan untuk menjalani hari menjadi lebih baik lagi.
“Kringggg… kriiiing… kringgg…” Bel berbunyi secara panjang di pagi hari, membangunkan seluruh santri yang masih lelap dalam tidurnya.
“Mbak ayo bangun, Mbak, Shubuuh.” Begitulah suara Mbak-mbak keamanan pondok yang selalu dengan sabar membangunkan santri setiap paginya.
“Huammm, ya Allah baru aja merem udah Subuh aja,” ujar Annisa yang merasa belum cukup dengan tidurnya. Karena pasalnya ia baru saja memejamkan matanya 3 jam yang lalu. Namun, kendati demikian ia harus tetap bangun dan menjalankan kegiatan di pondok pesantren yang dari bangun sampai tidur sudah terjadwal apa saja kegiatannya.
Annisa Widyaningrum adalah seorang santri yang tengah mengenyam pendidikan formal SMA dan juga pendidikan nonformal di salah satu pondok pesantren di Kota Salatiga. Tahun ini merupakan tahun keduanya merantau jauh dari orang tua untuk menimba ilmu baik dunia maupun akhirat. Ilmu yang nantinya akan berguna bagi kehidupannya dan akan menjadikan Annisa manusia yang berguna bagi orang-orang di sekitarnya.
…
Cuaca hari ini cukup cerah, sepoi angin di pagi hari menambah semangat Annisa dalam menjalani kegiatan hari ini.
“Waaah, sepertinya hari ini akan cerah ya. Apakah kamu mau mencuci, Nis. Lumayan loo, cucianmu sudah setumpuk tuu, dasar pemalas,” seloroh Najwa mengejek temannya yang memang memiliki cucian yang sudah mencapai dua ember.
“Ehhh.. eeehhh… enak aja kamu ngatain aku pemalas, kamu tahu kan aku beberapa hari ini ngapain aja, kamu tahu kan kalau dekat-dekat ini kita udah deket sama tanggal imtihan, kamu pikir aku tidur-tiduran terus setiap hari, kamu tahu kan aku ngapain aja, kamu tahu kan, tahu dong, tahu pasti?” ungkap Annisa panjang lebar menolak ucapan temannya yang semena-mena baginya.
“Iya.. iyaa.. si paling belajar untuk mengikuti imtihan. Tapi menurutku ya Nis, kamu itu belajar jangan cuma pas mepet waktu imtihan aja, kamu itu harus belajar dari jauh-jauh hari, setiap setelah kita masuk kelas, setiap kamu dapat hal baru. Muthola’ah, kamu tahu kan muthola’ah, tahu lah, tahu dong, tahu pasti?” tukas Najwa tak ingin kalah.
“Gini ya, Nis, coba liat kamu sekarang, iya bener kamu belajar terus-terusan untuk mempersiapkan imtihan, tapi di sisi lain, tugas tugas kamu yang lain, cucian kamu salah satunya kamu tinggalin begitu aja, numpuk itu di ember, apa itu bagus, jorok itu namanya,” tambah Najwa menasehati temannya.
“Iya.. iyaa.. bawelnya teman aku yang satu ini, ampun dah ngga kuat, ampun puh sepuhh,” balas Annisa sembari menyatukan kedua tanganya membentuk tangan memohon.”
“Hiss.. kamu ini, kalau dibilangin itu bercanda mulu, serius kek sekali-kali,” jawab Najwa sedikit kesal.
“Iya.. iyaa.. si paling bawel,” jawab Annisa masih sembari membercandai temannya yang masih saja ngedumel ngalor-ngidul.
“Yaudah kalau begitu, sehabis mengaji ini kita mencuci yukkk, cucian aku udah banyak ternyata hihihi,” ajak Annisa sembari nyengir kuda.
“Emang,” jawab Najwa yang tentu saja membuat Annisa memajukan bibirnya lima centimeter.
…
“MasyaAllah.. beratnya cucian aku ini, banyak sekali ternyata ya, Wa. Lelah sekali akuu,” keluh Annisa sembari mengangkat kedua embernya sekaligus.
“Makanya, lain kali nunggu lima ember aja kalau mau nyuci, biar encok tu tulang kamu,”
“Astaghfirullahhh, mengapa teman aku sejahat ini,” ucap Annisa seraya memelaskan wajahnya.
“Dah.. udah.. dasar, yuk jemur,” ajak Najwa.
Begitulah hari itu berlalu dengan langit yang cukup cerah.
…
“Nisss.. ayok Nisss, kita udah telat nihhh, nanti disuruh berdiri sama Ustadzah Fina, aku nggak mau ya dihukum berdiri,” rengek Najwa.
“Bentar, Waa, ini lipetan baju aku kurang sedikit, tanggung, 5 menit, 5 menit,” bujuk Annisa untuk menunggunya.
“Astaghfirullah anak ini, waktunya apa malah apa, waktunya apa malah apa, sekarang itu yang terpenting ngaji dulu, ayokkk,” dengan tak sabar Najwa menyeret Annisa.
Keduanya berlari terengah-engah menuju ruang kelas yang cukup jauh dari kamar mereka. Setibanya di depan kelas Najwa sedikit mengintip dan tentu saja benar dugaannya. Ustadzah Fina sudah berada di kelas dan sepertinya pembelajaran sudah dimulai 15 menit yang lalu.
“Kan, kamu si malah mentingin lipetan baju, telat kan kita, pasti dihukum ini,” ujar Najwa.
“Iya ih, gimana ya, Wa, apa kita balik kamar aja, nggak usah masuk kelas aja,” tukas Annisa sembrono.
“Hiss.. kamu ini enteng banget ngomongnya, kalau kita nggak masuk kelas, kita malam Jum’at berdiri, kamu mau?” ucap Najwa.
“Tapi kemarin-kemarin itu hukumannya nggak berjalan tahu, kan banyak acara, jadi pengurusnya nggak bakal ngehukum kita, udah ayok balik kamar aja,” ujar Annisa seraya menyeret Najwa untuk kembali ke kamar.
“Pokoknya kalau sampe kita kena hukum awas kamu yaa,” ancam Najwa.
“Iyaa.. iyaaa.. tenang aja, malam Jum’at besok itu kan ada acara jadi nggak mungkin ada hukuman. Santai,” jawab Annisa santai.
…
Hari-hari berlalu, kegiatan pesantren berlangsung seperti biasanya. Dari pagi sampai malam berlangsung seperti biasanya. Semuanya nampak aman-aman saja. Malam Jum’at pun terlewati tanpa adanya panggilan bagi santri-santri yang bolos dalam kelas mengaji.
“Tuh kan, Wa, aku bilang juga apa, kita itu bakal aman, ngga ada panggilan kan,” ujar Annisa dengan sedikit mengangkat kepalanya.
“Kamu itu ngga boleh kaya gitu, untung ini nggak ada panggilan, kalau ada, ini loo pertama kalinya aku bolos dan besok aku nggak mau lagi. Kalau kamu lama ya aku tinggal, nurutin kamu mah telat terus, ngga satset,” ujar Najwa panjang lebar.
“Iyaa.. iyaa.. aku terus yang salah, kapan aku benarnya di mata kamu, salah terus, capek deh,” ungkap Annisa seraya menepukkan tangan ke jidatnya.
“Bukan aku nyalahin kamu terus, lha wong nyatanya kamu emang salah terus, kita disini sekolah, ya ngaji, ya aktivitas sehari-hari, kita harus pandai-pandai bagi waktu, kalau ngga begitu kita bakal keteteran. Manajemen waktu itu penting lo, kalau dari sekarang kita ngga bisa ngatur waktu kita, selanjutnya kita bakal begitu. Padahal di pondok pesantren itu kita diajarin untuk pandai memanajemen waktu. Mumpung masih proses belajar, kita harus pandai bagi waktu Nis, biar nanti kalau kita udah pulang ke rumah kita ngga keteteran. Dunia ini kompleks, Nis, kalau kamu ngga bisa bagi waktu, kamu bakal ketinggalan jauh sama mereka yang udah bisa bagi waktu. Yang setiap harinya berprogress, punya target mau ngapain aja. Kamu juga harus begitu, kamu harus disiplin, kamu tu jangan kebisaan, waktunya apa malah apa, waktunya apa malah apa, kan jadi keteteraan banyak urusannya. Coba kamu cek urusan kamu banyak yang keteter ngga, kira-kira karena apa?
“Iya.. iyaa.. aku tau keseharianku masih sering ngga ketata, janji deh mulai besok aku bakal disiplin waktu, aku bakal benerin manajemen waktu aku,” ucap Annisa seraya mengangkat kedua tanggannya membentuk tanda damai.
“Kamu tau ngga Nis, dunia sekarang ini semakin berkembang pesat, kita harus berkembang juga, masa urusan waktu aja kita nggak bisa handle, apalagi nanti kalau berurusan sama dunia yang kompleks banget. Sebagai santri juga sebagai generasi muda, kita itu punya tanggung jawab atas kemajuan negara ini. Bumi terus berputar, manusia terus berganti, kalau kita ngga mempersiapkan diri mulai dari sekarang, kita bakal jadi bulan-bulanan kehidupan. Kita bakal jadi orang yang linglung, yang bingung harus gimana, makanya kita harus belajar satset, kamu tau satset kan, ngga boleh menjalani kehidupan ini dengan biasa aja,” tutur Najwa.
“Kita tu sekarang lagi proses dididik Nis, apa yang membentuk kita hari ini pasti ada manfaatnya buat masa depan nanti. Ngga mungkin kita bisa jadi orang yang pinter tanpa belajar, kita ngga mungkin jadi orang yang disiplin kalau kita ngga mau memulai itu dari sekarang, makanya ayok, aku ngajak kamu buat berbenah, mumpung kita masih disini, kita jalani proses pendidikan ini sebaik mungkin, supaya kita bisa jadi versi terbaik dari diri kita, supaya besok kita bisa jadi lebih bermanfaat buat banyak orang. Stop nunda-nunda, stop bilang nanti, pokoknya kita harus sukses, oke?” ungkap Najwa panjang lebar.
“Siapp, Komandan. Alhamdulillahh, bahagianya aku punya temen yang masyaAllahnya kaya Najwa ini, ngga ada duanya deh pokoknya, sarangheo,” ucap Annisa seraya mengangkat kedua tangganya membentuk cinta.
“Dasar bocah,” ucap Najwa sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Terima kasih banyak ya, Wa, bersyukuuur banget aku punya teman yang baik banget sama kamu, yang selalu nasehatin aku, yang selalu berkata kebenaran, dan nggak selalu membenarkan aku walaupun kita teman.”
“Loh, justru teman itu yang selalu menunjukkan jalan kebenaran untuk temannya, bukan dia yang membenarkan kamu. Aku juga bersyukur banget punya teman kaya kamu jadi bikin aku terus intropeksi diri, kan kamu pemalas, makanya aku belajar buat nggak jadi pemalas kaya kamu, wlee,” ejek Najwa.
“Eeh… eeh… lupa ya, aku ngapain aja hari ini, lupa kamu, aku loo udah belajar memanajemen waktu, aku udah buat skala pri noritas yang harus aku lakuin hari ini apa aja, nih liat,” ucap Annisa seraya menunjukkan daftar to do list yang sudah ia buat.
“MasyaAllah teman aku, bangga deh aku sama kamu. Semangat yaa, yakin kita akan sukses bareng, semangat berjuang!” ucap Najwa mengobarkan semangat temannya.
“Bismillah, semangatt!”
“Menjadi pribadi yang baik adalah dambaan semua orang. Menjalani hari dengan baik juga dambaan semua orang. Menjadi lebih baik dari waktu ke waktu juga dambaan semua orang. Menjadi versi terbaik dari diri kita juga dambaan semua orang. Saat semua orang mendambakan demikian, maka kita harus berjuang, menjadi versi terbaik dari diri kita,” begitulah tulisan yang termuat dalam buku to do list Annisa yang memotivasinya untuk menjadi lebih baik dari hari kemarin.
TAMAT