Beranda Cerpen Seberkas Cahaya Pesantren (Cerpen)

Seberkas Cahaya Pesantren (Cerpen)

748
0

Seminggu setelah perbincanganku dengan Sofia, dia sekarang selalu menemani kemana pun aku pergi, menjadi temanku curhat dan teman bertanyaku kalau ada pelajaran yang kurang paham. Satu minggu adalah waktu yang singkat, walau aku selalu ingat pesan Mama dan ingat perkataan Sofia.
“Gue harus jadi orang baik, orang berguna, orang yang pandai dalam ilmu agama. Ya itu minimallah,” tekadku.
Teman-teman di pesantren mulai mengenalku, mereka sangat sopan dan baik-baik, mereka juga sangat ramah. Hingga tak terasa tersisa satu minggu lagi, sudah 40 hari aku aku betah di pesantren, seakan-akan pesantren adalah rumahku, tenang. Bertemu dengan orang-orang baik dengan berbagai macam latar belakang, bertemu Ibu Nyai yang baik dan ramah, menganggap semua santri sama dan tidak pilih kasih. Tapi sedihnya, Mama belum pernah nelfon dari pertama aku di pesantren, ya aku maklum, soalnya Mama sibuk, mungkin juga tidak sempat. Berat juga akan meninggalkan pesantren ini.


Hari ini bertepatan 40 hari aku di pesantren, dan benar mobil Jazz pink milikku sudah terparkir di halaman pesantren, dan tidak salah lagi Mama sudah sowan Pak Kyai. Mama berbincang hangat dengan beliau dan Ibu Nyai. Setelah aku dipanggil ke ndhalem, aku langsung bersalaman dengan Mama dan Ibu Nyai. Mama menanyakan kabarku, dan bagaimana rasanya di pesantren, aku menjawab dengan sopan pertanyaan Mama. Mama melihat perubahan pada diriku sangat drastis, Mama langsung menangis dan memelukku.
“Pak Kyai, Ibu Nyai, terima kasih, saya sulit bisa berkata-kata saking bahagianya,” ucap Mama sambil mengusap air mata yang terus mengalir.
“Bu, semua yang diberikan kepada anak ibu adalah anugerah, dan anak ibu sudah ditakdirkan seperti ini. Langkah Ibu sudah tepat menitipkan putri Ibu di sini, anggap ini pertolongan dari Allah yang diberikan kepada keluarga Ibu, melalui kami berdua,” tutur pak Kyai.
Setelah berbincang lama dan sedikit wejangan dari Pak Kyai Mama sedikit lega, di sini aku belajar dengan tenang dan banyak kawan. Dan sekarang Mama melihat dengan senyum lega.
“Tapi Ma, Monika nggak mau pulang, Monika malu kalau pulang, Monika belum bisa ngaji. Maaf ya Ma selama ini Monika selalu nyusahin Mama, dan Monika masih mau tinggal di sini, nanti kalau liburan Monika pulang kok,” ucapku.
“Iya Sayang, kalau emang itu mau kamu, Mama ngikut aja. Belajar yang rajin. Maaf Mama belum bisa jadi Mama yang baik buat kamu.”
“Kenapa harus minta maaf, Ma. Mama nggak salah apa-apa ke Monika. Justru Monika yang selama ini nggak tau diri, Monika selalu bikin Mama kesel. Padahal Mama udah berjuang banyak untuk Monika. Maafin Monika ya, Ma,” isakku dalam pelukan Mama.
“Iya, Nak.”
Setelah lama berbincang, Mama pamit karena masih banyak harus dikerjakan. Selang beberapa waktu, mobil Mama sudah hilang dari pandangan. Waktu terasa singkat, 40 hari terasa singkat, kehidupan terasa singkat. Tapi bahagia rasanya, saat Mama sudah tenang dengan perubahanku di sini.
“Terima kasih atas segala kehidupan dan kebahagiaan ini, ya Allah.”

Oleh: Rofiqotul Husna

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini