Pptialfalah.id – Dalam pandangan Islam, Riba merupakan dosa besar. Menurut Bahasa, riba berarti tambahan. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah menukar suatu dagangan dengan dagangan lain yang saat akad berlangsung tidak mengetahui kesetaraan antara keduanya dalam mi’yar (penyetara) dengan penundaan dalam keduanya atau hanya salah satu.
Akad riba hukumnya haram jika memang titak terpenuhi syarat-syarat yang bisa mengesahkannya. Dalam kitab Al-Bajuri, Darul kutub Al Ilmiyah, tidak lagi menamai riba jika telah memenuhi syarat sahnya.
Akad ini terjadi pada emas, perak dan makanan (makanan yang umumnya untuk kekuatan badan, makanan ringan, atau untuk obat).
Tidak memperbolehkan menjual emas menukar dengan emas, perak dengan perak, baik emas perak tersebut tercetak atau tidak. Hal ini kecuali bila:
Pertama, setara atau sama dalam kadarnya. Maka, tidak sah penjualan sesuatu dari emas perak bila ada perselisihan (kadar).
Kedua, seketika (langsung dan saling diserahkan). Jika sesuatu darinya menjual dengan syarat tenggang waktu (dalam penyerahan), maka tidak sah.
Dan tidak sah menjual sesuatu yang telah membeli namun belum menerima hingga pembeli telah menerimanya dari penjual, baik pembeli menjualnya kembali kepada penjual pertama atau orang lain.
Tidak sah menjual daging dengan alat tukar berupa hewan (yang masih hidup), baik hewan itu berasal dari jenis hewan yang menjadi alat tukarnya.
Seperti menjual daging kambing membeli dengan kambing yang masih hidup, atau dari selain jenisnya, namun berupa hewan yang halal dimakan. Seperti menjual daging sapi diebeli dengan kambing hidup.
Penjelasan Kitab Bujairomi ‘ala Al-Khotib
Seperti melansir dalam kitab Bujairomi ‘ala Al-Khotib bahwa perkataan “dari hewan yang halal” ini bukanlah merupakan syarat tidak memperbolehkannya menjual hewan dan membayarnya dengan daging yang berasal dari selain jenis hewan tersebut. Sebab hukum menjual daging dan membayarnya dengan hewan yang tidak halal dimakan pun juga tetap tidak sah.
Boleh menjual belikan emas dengan perak dengan adanya selisih bobot antara keduanya. Tapi harus tunai, maksudnya seketika dan saling memberikan sebelum berpisah.
Begitu juga dengan bahan makanan. Tidak boleh menjual satu jenis darinya membeli dengan jenis yang sama, kecuali bila bobotnya sama, dan tunai (seketika itu memberikannya sebelum berpisah). Dan hukumnya boleh menjual satu jenis darinya dengan jenis lain yang berbeda dengan bobotnya, tapi harus tunai (seketika dan memberikan seluruhnya).
Bila dua pelaku transaksi berpisah sebelum menerima seluruhnya, maka akadnya batal. Atau berpisah setelah menerima sebagian saja, maka pada kasus tersebut terdapat dua pendapat tentang tafriq as-shufqoh.
Tafriq as-shufqoh adalah salah satu akad yang mentransaksikan mabi’ yang berstatus ganda. Sebagian boleh meng-akadi dan sebagian tidak boleh. seperti, menjual cuka dan khamar dengan harga 15 ribu. Perincian harganya, cuka 10 ribu dan khamar 5 ribu. Dalam akad ini penjual cuka hukumnya sah dan menjual khamar hukumnya tidak sah.
Tidak memperbolehkan bai’ al-ghoror (akad jual beli yang terdapat unsur penipuan). Ghoror mendefinisikan dengan perkataan “sesuatu yang tidak mengetahui akibat akhirnya”, atau perkataan “sesuatu yang memungkinkan pada dua konsekuensi yang paling berpotensi mucul dan paling menghawatirkan.”
Seperti menjual satu dari beberapa hambanya atau jual burung yang ada di udara. Contoh perkataannya, “aku jual kepadamu salah satu dari budak-budakku dengan harga 100 dinar.” Hal ini menganganggap ada unsur penipuan karena tidak mengetahui budak mana yang nantinya akan menjadi mabi’.