Beranda Cerpen Fafirru Ilallah, Maka Berlarilah kepada Allah! (Cerpen)

Fafirru Ilallah, Maka Berlarilah kepada Allah! (Cerpen)

2909
0
Fafirru Ilallah

Terusik. Semua pandangan telah tertutup di larut malam. Berpasang tangan telah berhenti bekerja. Kedua belah kaki telah beristirahat. Setiap tubuh sudah terjaga. Sunyi. Tersisa suara jangkrik yang sesekali menyelinap hening malam.

Tapi sepasang mata sulit terpejam. Pikirannya masih berkelana pada serangkai percakapan di telepon bersama ibunya. Gelisah, itu yang Aliya rasa. Tak ada yang tahu kecuali dirinya sendiri dan Sang Pencipta, juga semut di dinding yang berjajar menatapnya penuh curiga.

“Aliya, Ibu boleh bicara hal penting sama kamu,” suara Ibu terasa lelah di ujung sana.

“Iya, Ibu. Bicaralah, Aliya akan mendengarkan dan barangkali Aliya bisa memberikan solusi untuk hal itu.”

“Aliya, Ibu tahu kamu sangat bersemangat untuk menimba ilmu di pesantren dan Ibu juga sangat senang akan hal itu. Tapi ada hal yang perlu kamu tahu Aliya, keadaan rumah sedang tidak baik-baik saja. Kemarin Bapak di PHK dan Ibu kini sedang mengusahakan juga membantu perekonomian keluarga kita. Tapi kebutuhan terasa semakin pelik, Aliya. Ibu tidak cukup bisa membantu lebih untuk mencukupi kebutuhan kita dan bila kamu berkenan, bisakah kamu berhenti sebentar lalu pulang. Sebenarnya berat untuk mengutarakan hal ini. Tapi bagaimana lagi, Ibu hanya tidak yakin bisa memenuhi tanggungan biaya bulanan kamu dan juga biaya bulanan nyantrimu. Sedangkan adik-adikmu juga butuh..,” Ibu terisak, berhenti agak lama.

Aliya merasakan bagaimana lelahnya Ibu menjalani hari dengan kesempitan ekonomi. Sementara kebutuhan Aliya dan adik-adiknya juga banyak.

“Ibu, Aliya mengerti. Kalau memang ini yang terbaik, lebih baik Aliya pulang saja. Ketika Aliya pulang, Aliya bisa membantu Ibu dan Bapak,” tutur Aliya menguatkan Ibunya.

“Tapi Aliya… kamu sungguh tidak keberatan mengajimu berhenti sampai disini?” tanya Ibu ragu.

“Tidak apa, Ibu. Ilmu bisa didapat dimana saja kok. Jika memang tidak di pesantren ini barangkali di rumah atau di mana saja.”

“Terima kasih, Aliya. Maaf Ibu tidak bisa memenuhi segala kebutuhanmu, bahkan untuk pendidikan kamu saja harus berhenti sampai di sini.”

“Tidak, Ibu. Aliya sudah sebesar ini. Aliya tumbuh dengan baik. Berkat siapa? Berkat ada Ibu, ada Bapak. Kasih sayang Ibu dan Bapak tidak ada duanya bagi Aliya. Ibu dan Bapak adalah orang tua yang hebat, yang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memenuhi segala kebutuhan Aliya dan adik adik Aliya. Dan Aliya sangat berterima kasih untuk itu. Bahkan entah bagaimana lagi Aliya harus membalasnya. Di pesantren Aliya hanya bisa belajar, belajar, dan belajar. Dan jikapun akhirnya Aliya harus pulang, Aliya ikhlas, Aliya akan pulang.

Fajar mulai menyingsing. Mentari terbit di ufuk timur. Hari mulai ramai. Para santri mulai beraktivitas seperti biasa, juga dengan Aliya. Tatapannya nampak sayu. Terlihat lingkar hitam di bola matanya menyisakan lelah sisa kantuk yang tak tersampaikan semalam. Langkahnya tegap dalam kegontaian. Hari ini dia akan menemui Ustadzah Rahma untuk mengurus administrasi kepulangannya.

“Assalamualaikum Ustadzah,” ucap Aliya seraya mengetuk pintu kantor yang sudah terbuka.

“Wa’alaikumsalam, Aliya. Ada apa? Masuklah!”

Aliya gemetar. Keputusan yang berat untuk meninggalkan pesantren ini terlalu banyak kenangan yang sudah terjadi. Disinilah Aliya tumbuh menjadi lebih dewasa dan mengerti lebih harus bersikap kehidupan.

“Begini, Ustadzah,” kata pembuka yang berat diucapkan Aliya untuk memulai sebuah penyelesaian di pesantren ini. Bola matanya nanar berkaca-kaca. Jika tidak dengan hati yang tegar, air matanya telah tumpah sedari tadi.

“Ada apa? Kok seperti gelisah sekali?”

“Begini, Ustadzah. Aliya izin pulang.”

Oalah, mau izin pulang. Ada keperluan apa?”

“Itu, Ustadzah. Bukan pulang untuk sementara. Ustadzah, Aliya izin pulang untuk tidak kembali lagi kesini. Keluarga Aliya sedang terhimpit masalah ekonomi. Orang tua Aliya sudah mengusahakan bagaimanapun caranya. Tapi mungkin ini sudah jalannya, Aliya harus pulang. Dan jika suatu saat Allah memberi kesempatan lagi, Aliya akan segera kembali ke pesantren ini. Aliya masih ingin belajar bersama Ustadzah dan teman-teman lainnya. Tapi tetap saja, untuk sekarang Aliya tidak bisa memaksakan kehendak. Aliya tidak bisa memberatkan beban kedua orang tua Aliya. Mungkin setelah Aliya pulang, Aliya akan bisa membantu meringankan beban mereka. Maka dari itu, Aliya izin pulang.”

Ustadzah nampak mengerti beban yang Aliya rasakan. Bagaimana mungkin tidak, Aliya adalah satu diantara sekian banyak santri yang sama-sama memiliki semangat belajar yang tinggi.

“Apa kamu ikhlas dengan keputusanmu itu, Aliya?” tanya Ustadzah Rahma.

“Sebenarnya berat, Ustadzah. Mungkin awalnya berat, tapi insyaallah Aliya ikhlas akan hal ini. Aliya percaya bahwa Allah punya rencana yang terbaik untuk Aliya.”

“Baiklah kalau begitu. Ustadzah tidak bisa melakukan banyak hal, terlebih tentang keadaan keluarga Aliya. Hanya saja kalau Aliya rindu pesantren, jangan sungkan untuk berkunjung kesini dan bagaimanapun keadaan Aliya di rumah jangan merasa berat ya! Aliya punya Allah. Apapun masalah Aliya, ceritain semuanya sama Allah. Ilmu-ilmu yang sudah Aliya dapatkan diamalkan dan lebih baik lagi dibagi dengan teman-teman Aliya di rumah.

“Baik, Ustadzah. Aliya mengerti.”

“Kamu cerdas, Aliya. Berat rasanya mengetahui kamu harus pulang dengan keadaan yang seperti ini. Tapi tidak apa-apa. Aliya harus tetap semangat. Aliya harus ikhlas. Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuk Aliya. Selama Aliya masih percaya Allah dan harus terus percaya sama Allah, apapun masalahnya Allah akan selalu ada untuk Aliya. Fafirru ilallah, apapun itu sampaikan! Minta sama Allah.”

“Baik, Ustadzah. Terima kasih untuk nasehat-nasehat Ustadzah. Pesantren ini memang tempat yang nyaman dengan orang-orang baik di dalamnya. Aliya senang bisa menjadi bagian dari pesantren ini. Entah harus bagaimana lagi Aliya mengucapkan syukur kepada Allah untuk kesempatan yang luar biasa ini. Rencana Allah memang selalu yang terbaik dan karena Allah, Aliya ikhlas. Aliya izin pulang.”

Oleh: Nisa’u Sofiyah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini