“Monikaaa!” teriakan Mama membuat gendang telingaku pecah.
“Apaan sih Ma, berisik tau. Dah tau enak-enak tidur, malah dibangunin,” gerutuku pada Mama yang selalu mengganggu tidur nyenyakku.
Setelah semalaman party ulang tahunku yang ke-17 dengan gengku, membuat sekujur kakiku membeku. Menghabiskan waktu bersama teman-temanku membuatku merasa bebas, terlebih sejak aku hidup dari keluarga broken home dan sekarang aku dibesarkan oleh mamaku tercinta. Namun aku gengsi mengucapkan cinta kepada mama, karena nyatanya Mama selalu membuatku kesal.
“Bangun sayang, sudah waktunya kamu berangkat sekolah. Ayo bangun sayang! Sekarang udah jam 7,” pinta Mama dengan lemah lembut.
“Ya ya ya.. Gue bangun. Bawel amat jadi orang!” jawabku dengan kesal. Dengan mata terpejam aku mulai beranjak ke kamar mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah.
“Pagi, Mon…” sapa teman-temanku yang terlihat baru datang ke sekolah.
“Pagi juga!” jawabku dengan ketus.
Aku menjalani hari-hariku seperti biasanya. Pergi sekolah pagi, dilanjut les, lalu membaca buku di perpustakaan. Aktivitas yang sangat membosankan. Demi mama tercinta, akan kulakukan keinginan mama. Karena mama ingin melihat aku menjadi dokter dan pengusaha kaya.
Setelah selesai melakukan aktivitas yang menurutku membosankan, aku menyusul mama ke kampus. Mamaku yang lumayan disiplin itu, berprofesi sebagai dosen di kampus ternama di Jakarta. Mama mengampu mata kuliah bahasa Inggris. Dengan alasan yang logis, aku senang mencuri-curi kesempatan ikut mama ke kampus agar aku bisa kabur dari aktivitasku yang sangat membosankan.
“Mon, Mama mau nanya. Kira-kira Monika mau nggak Mama masukkan ke pesantren?” tanya Mama yang membuatku menjadi heran.
“Pesantren? Apa, Ma? Pesantren? Mama tega, mau naruh aku di tempat itu, Ma. Monika bakal pisah sama Mama,” elakku.
“Ya pastinya Mama udah berpikir panjang, untuk memasukkan Kamu ke pesantren. Di sana kamu bisa dapat banyak teman dan dapat mendalami pendidikan agama. Monika… dengerin Mama. Mama cuma pingin Kamu jadi orang yang berguna,” jelas Mama.
“Tapi Ma… nggak mudah lo buat Aku untuk beradaptasi di sana. Mama harus ngertiin Aku dong. Jangan seenaknya gini,” bantahku.
“Gini deh, Kita buat perjanjian. Kalau Kamu mau masuk pesantren dan selama 40 hari Kamu nggak minta pulang, Mama akan turutin semua mau kamu. Tapi kalau kurang 40 hari Kamu udah minta pulang, perjanjian Kita batal. Oke?” tantang Mama.
“Oke. Siapa takut. Tapi Mama janji ya!” tegasku.
“Iya. Mama janji,” jawab Mama.