Setelah pukul 8 pagi, aku bangun. Disekelilingku terlihat sepi, aku beranjak dari tempat tidur menuju teras dan tak terlihat satu orang pun di sana. Tanpa basa-basi, aku beranjak menuju kamar mandi untuk cuci muka. Setelah selesai, aku kembali ke kamar. Di sana terlihat Sofia yang sok anggun duduk di tempat tidurku.
“Morning Monika. Kamu udah bangun? Oh iya, kamu dipanggil Kepala Sekolah tadi pagi. Beliau nyariin kamu untuk ngelengkapi data kamu yang kurang lengkap,” ucap Sofia.
“Oh ya, makasih!” ucapku ketus.
Setelah Sofia pergi dari hadapanku, mataku melalang buana melihat suasana luar. Sejuk dan nikmat. Lalu, aku merenung lama. Seketika renunganku buyar, ketika aku teringat bajuku menumpuk di ember.
“What? Siapa yang mau nyuci. Orang gue nggak pernah nyuci,” gerutuku.
“Aduh mana perut gue perih, baru ingat ternyata gue belum makan 2 hari. Hem.. panggil Sofia aja deh, mungkin dia mau bantu gue.”
Setelah lama aku cari mondar-mandir ternyata Sofia ada di teras lagi baca buku.
“Heh lo, siapa? Sofia, bantuin gue dong, temenin gue ke dapur ambil makan.” pintaku padanya.
“Oh kamu mau makan, yaudah ayok tak temenin ambil, pakek piring aku aja,” ucap dia dengan ramah.
”Sebenarnya gue heran sama ini anak, selalu gue bentak, gue kasarin, gue cuekin, kok mau sih maen sama gue? Malah dia yang ngajak kenalan duluan, aneh,” batinku.
Sofia benar-benar nemenin ngambil makan, dan kami tidak ngobrol sedikit pun di perjalanan. Setelah ngambil makan, Sofia mengajakku duduk di dekatnya sembari dia membaca buku.
“Eh gue itu heran sama lu, kenapa masih mau berteman sama gue, sedangkan gue kasar, gue acuh, pokoknya nggak pantaslah ditemenin,” singgungku.
“Hm.. gimana ya, kan kita baru kenal, dan aku tau namamu dari teman-teman santri yang lain, katanya kamu anak baru dari kota dan bahkan belum pernah ke pesantren, setidaknya dengan aku akrab kaya gini, kamu jadi nyaman di pondok,” jawabnya yang buat aku diam seribu kata.
“Eh boleh nanya nggak, emang santri itu apa sih, ngapain harus di pesantren?” tanyaku singkat.
“Hmm.. Santri itu sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, sekiranya begitu. Ya tujuan di pesantren biar paham agama Islam, dan nanti kalau udah pandai baru bisa pulang ke rumah, gitu. Nah, gunanya kita makan selalu ngantri, mandi ngantri, dan semua harus ngantri, karena santri diajarkan untuk sabar dan tawadhu’,” jelas Sofia panjang lebar.
“Jadi gitu. Maklum si gue baru tau kaya gini, gue aja mau masuk pondok sini harus ada perjanjian sama Mama dulu. Eh, ngomong-ngomong di sini nggak ada loundry?” tanyaku.
“Ya enggak lah,” Sofia tertawa terbahak menjawab pertanyaanku
”Di sini semua serba mandiri Mon, maklum kalau di sini nggak ada loundry, nanti kalau mau nyuci bareng aku aja, oke?” tawar Sofia.
“Oke siyap, oh ya, terima kasih atas penjelasannya tadi, setidaknya aku punya pandangan, apa gunanya belajar di pesantren,” ucapku.
“Sama-sama. Mon boleh nggak manggilnya jangan lo gue, tapi pake ukhti, sebenarnya terdengar risih tapi lama-kelamaan juga akan terbiasa,” pinta Sofia.
“Aku coba yak, tapi nggak harus sekarang kan? Soalnya kalau sekarang, gue.. oops.”
Dengar kata gua, Sofia langsung noleh dan menahan tawa.
”Sorry..” ucapku.