pptialfalah.id – “Sesuatu yang ditulis dari hati akan sampai ke hati”, Syarifah Robi’ah ‘Adawiyyah Ba’abud (23) mampu menyulap curhatannya dari buku harian atau diary menjadi sebuah buku dengan judul “Hanya Untuk Dikenang”. Tak pernah mengira bait-bait puisi yang biasa ia tulis akan menjadi sebuah tulisan yang dibukukan. Sejak kecil Syarifah Yaya Ba’abud memang sudah gemar menulis. Sampai-sampai, setiap hari ulang tahunnya tiba banyak yang memberinya hadiah buku diary.
Sebelum mengenal lebih jauh sosoknya. Sebenarnya siapa, sih Syarifah Robi’ah ‘Adawiyyah itu? Wanita kelahiran Purworejo, Jawa Tengah ini adalah anak keempat dari enam bersaudara. Putri dari pasangan Sayid Hasan bin Agil Ba’abud dan Syarifah Aisyah binti Muhammad Ba’abud. Kerap dipanggil dengan Yaya atau Pah Yaya ini pernah menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadi’at (P3HM) Lirboyo, Kediri. Semenjak mukim, Pah Yaya sibuk dengan kegiatan mengajar dan kuliah di Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Tak jarang melalui media sosial instagram, mahasiswi prodi psikologi ini juga ‘nyambi’ kegiatan berbagi ilmu dan manfaat dengan membuka QnA seputar fikih.
Dari Diary Pribadi, Jadi Inspirasi
Selama menempuh pendidikan di Lirboyo, Pah Yaya juga masih aktif menulis di buku diarynya. Menulis ia maknai sebagai sebuah kegiatan mencurahkan perasaan atau pikiran yang ada dalam diri melalui bentuk tulisan. Sehingga, ia berprinsip bahwa ketika menulis dari hati maka akan sampai ke hati. Buku pertama yang ia terbitkan beranjak dari kisah pribadi yang tertuangkan melalui buku diary.
“Sejak SD saya hobi nulis, dulu nulisnya di buku harian gitu. Beranjak MTs masih suka nulis, masih tentang curhatan, dan lain-lain. Di pondok karena hiburannya terbatas maka saya menghibur diri dengan menulis. Karena belajar dari tulisan-tulisan masa lalu, saya coba untuk perbaiki menjadi sastra yang indah versi saya. Masih berlanjut sampai sekarang,” tutur Pah Yaya.
Ketertarikan beliau pada dunia menulis selain karena hobi ialah untuk menunjukkan perasaan ke orang lain tanpa perlu menceritakannya dengan gamblang. Alhasil Pah Yaya menuangkan setiap perasaannya melalui untaian puisi. Awal mula “Hanya Untuk Dikenang” hadir bukanlah sesuatu yang sengaja melainkan sebuah proses yang cukup panjang.
“Proses menulisnya bukan karena sengaja pengen menerbitkan buku. Murni kisah masa lalu dari buku diary dan status,” ungkap Pah Yaya.
Hampir Menarik Karyanya dari Pasaran
Sempat ragu apakah tulisan-tulisan yang sudah terkumpul tersebut pantas untuk diterbitkan atau tidak. Sampai suatu saat, melalui hobi barunya yaitu ‘nonton’ serial drama korea Pah Yaya mendapatkan motivasi kuat untuk menerbitkan sebuah buku. Namun, tantangan yang lebih berkesan bukan karena proses menulisnya. Setelah buku terbit dan tersebar luas ke masyarakat, mulai muncul pro dan kontra. Pihak masa lalu merasa tidak terima atas kehadiran buku tersebut. Namun, bahkan Pah Yaya sendiri tidak pernah menyebut nama dan tidak ada kata-kata yang merujuk pada pihak masa lalu tersebut.
Jika melihat buku ini memanglah berisi kumpulan puisi-puisi yang setiap akhir puisi terdapat tanggal terbuatnya bait puisi. Sehingga, antara tahun terjadinya kisah dan waktu buku terbit itu sangatlah jauh. Pahitnya, Pah Yaya juga sempat mendapatkan fitnah dari kehadiran “Hanya Untuk Dikenang” ini. Hal ini menyebabkan Pah Yaya hampir menarik karyanya dari pasaran. Akan tetapi, beliau melihat sudut pandang lain dari lebih banyak orang yang mendukung karya tersebut.
Tak luput dari itu, terdapat bagian yang paling berkesan bagi Pah Yaya dan masih terkenang sampai sekarang. Ialah bagian sampul terakhir di mana kata tersebut merupakan kalimat dari ’doi’ sebelum berpisah dengan Pah Yaya.
“Aku tak ingin kau pergi, Aku juga tak ingin kau kembali, Aku hanya ingin kau untuk tetap ada.”
Rupanya, pengalaman kisah cinta yang mulanya tak pernah terbayang akan menjadi sebuah buku inspiratif. Dengan segenap hati beliau menorehkan setiap kata sehingga kata tersebut mampu membuat pembacanya terhanyut dalam kisahnya. Sesuai dengan judulnya – Hanya Untuk Dikenang, tetapi bukan untuk dilupakan. Syarifah Robi’ah ‘Adawiyyah berharap karyanya dapat berkenan di hati masyarakat meskipun ketika menulis itu pasti terdapat pro dan kontra. Harapan tertinggi yang beliau inginkan ialah tulisan-tulisan tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.
“Dengan menulis kita tahu mana yang salah dan benar,” pungkas Pah Yaya Ba’abud.
ipah kuuuu 🌹🌹🌹
my inspirator 💚