Beranda Artikel Tradisi Literasi Sebagai Bentuk Nasionalisme Ala Syekh Nawawi Al Bantani (Esai)

Tradisi Literasi Sebagai Bentuk Nasionalisme Ala Syekh Nawawi Al Bantani (Esai)

1041
0
tradisi literasi

Era revolusi industri 4.0 saat ini telah mengantarkan manusia pada berbagai kemudahan yang secara tidak langsung menyebabkan manusia terlalu bergantung dengan teknologi. Dengan kata lain, era revolusi industri 4.0 telah menyelimuti dunia dengan teknologi. Fenomena ini tentu saja menuntut seluruh manusia tak terkecuali umat Islam untuk semakin kritis dalam menanggapi segala hal.

Sejalan dengan perintah iqra’ dalam wahyu pertama, literasi sangat diperlukan dalam rangka memupuk sikap nasionalisme di era revolusi industri 4.0 tersebut. Literasi yang dimaksud di sini tak hanya soal menyaring informasi yang diterima. Lebih luas dari itu, literasi diharapkan  dapat meningkatkan derajat kemuliaan juga kehormatan seseorang. Di sisi lain, literasi juga diharapkan mampu meningkatkan tingkat kepekaan manusia terhadap masalah-masalah yang muncul di lingkungannya.

Adapun permasalahan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah darurat literasi  atau rendahnya minat baca  pada masyarakat Indonesia. UNESCO memaparkan data statistik minat baca msyarakat Indonesia yang memprihatinkan. Hanya 0,001% yang berarti  1:1000 orang di Indonesia yang rajin membaca.  Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia demi meningkatkan minat literasi namun tetap saja tak membuahkan hasil. Menjawab segala persoalan yang ada, Syekh Nawawi Al Bantani hadir sebagai tokoh teladan dalam menanamkan kesadaran akan pentingnya literasi di zaman yang serba mudah saat ini.

Figur Syekh Nawawi Al Bantani

Syekh Nawawi Al Bantani adalah sosok ulama populer yang lahir di desa Tanara, Provinsi Banten. Beliau merupakan putra pertama dari tujuh bersaudara yang juga merupakan generasi ke-12 dari Sultan Maulana Hasanuddin, raja pertama Banten. Putra dari pasangan Syekh Umar bin Arabi Al Bantani dan Zubaedah ini sejak kecil memang dibesarkan dalam lingkungan yang agamis. Beliau kemudian mendapat amanah untuk memimpin Pondok Pesantren yang telah dirintis ayahnya pada usianya yang masih tergolong muda.

Di usia yang menjelang remaja, beliau tumbuh menjadi sosok yang haus akan ilmu. Ini dapat dilihat dari perjalanan pendidikan Syekh Nawawi Al Bantani yang begitu panjang dan perjuangan beliau dalam mendakwahkan Islam.

Pada awalnya, beliau mengikuti bimbingan dari Syekh Khatib Sambas dan Syekh Abdul Gani Bima, ulama asal Indonesia. Kemudian dilanjutkan menimba ilmu pada Sayyid Ahmad Dimyati  dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang keduanya berdomisili di Makkah. Di Madinah, beliau belajar bersama Syekh Muhammad Khatib Al-Hambali. Beliau pun mulai mengajar di lingkungan Masjid Al-Haram pada tahun 1860.

Syekh Nawawi Al Bantani juga merupakan penulis yang luar biasa. Karya-karyanya yang masih bisa kita rasakan hingga saat ini telah menggambarkan betapa besarnya rasa cinta beliau terhadap dunia keilmuan. Kurang lebih ratusan kitab yang beliau karang, telah dijadikan kurikulum dalam pengajaran di beberapa daerah di Nusantara. Salah satu karyanya di bidang Ilmu Fiqh yang sangat populer di kalangan para santri di Jawa yakni Kasyifah al-Saja.

Nasionalisme Syekh Nawawi Al Bantani

Sikap Syekh Nawawi Al Bantani yang diam saja terhadap kebijakan para penjajah yang semena-mena kala itu dipandang kurang menunjukkan sikap nasionalisme. Bicara tentang nasionalisme, Allah SWT. telah  mengatur dalam Q.S. At Taubah ayat 122:

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang)…”

Dalam ayat tersebut, jelas bahwa Allah SWT. telah menerangkan tidak perlu semua orang mukmin turun ke medan perang. Harus ada pembagian tugas, sebagian ada yang berperang, sebagian lagi belajar ilmu agama. Kelompok yang mempelajari ilmu agama dimaksudkan untuk memastikan dakwah tetap berjalan meski dalam peperangan. Begitu pula derajat  orang-orang yang berjuang di bidang ilmu pengetahuan sama dengan orang-orang yang turun langsung di medan perang.

Syekh Nawawi Al Bantani lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dan mengajar selama hidupnya. Banyak santri dari beberapa daerah datang untuk menimba ilmu darinya. Hal itu menjadi ancaman  tersendiri bagi kolonial Belanda.

Semakin hari gerak-geriknya semakin mendapat pengawasan dari Belanda. Perlakuan itu membuat Syekh Nawawi merasa tidak nyaman tinggal dan mengembangkan ilmu pengetahuan di kampung halaman. Kekuasaan penjajah kala itu menyulitkan beliau dalam menyampaikan ilmu kepada para santri. Beliau pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke Tanah Suci.

Keputusannya untuk kembali ke tanah suci di tengah keadaan negara yang sedang terjajah menimbulkan anggapan tentang ketidakpeduliannya terhadap tanah air. Sebagai manusia biasa, bukan hak kita untuk menyalahkan atau membenarkan keputusan yang diambil oleh Syekh Nawawi Al Bantani. Boleh jadi apa yang menurut kita salah adalah hal yang disukai Allah SWT. begitu juga sebaliknya.

Kepergian Syekh Nawawi dari tanah air tidak membawa banyak perubahan. Keputusannya untuk meninggalkan tanah air tidak lantas membuat Syekh Nawawi Al Bantani kehilangan kepedulian terhadap tanah kelahirannya tersebut. Sebagian besar waktunya banyak ia habiskan untuk menulis dan menyebarkan ilmu agama islam. Tidak hanya untuk Indonesia, tetapi seluruh penjuru dunia. Banyak kitab yang ditulisnya memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap pesantren-pesantren di tanah air. Gagasan dan pemikirannya berhasil menjadikan gerakan literasi sangat berpengaruh bagi perkembangan islam hingga saat ini.

Sikap nasionalisme Syekh Nawawi mungkin memang tidak seheroik ulama-ulama besar lain yang membela tanah air hingga titik darah penghabisan. Namun Syekh Nawawi mampu menghasilkan karya-karya besar yang tidak sedikit dan kini menjadi rujukan dari berbagai penjuru dunia. Melalui tulisan atau karya Syekh Nawawi Al-Bantani, kita seharusnya dapat belajar, bahwa untuk menjadi orang besar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menulis atau ditulis. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, penulis ternama Indonesia yang mengatakan bahwa “selama kita tidak menulis, maka kita akan hilang dari sejarah. Menulis adalah pekerjaan untuk keabadian.”

Hingga gerakan literasi ramai digencarkan saat ini. Jauh sebelum itu Syekh Nawawi Al-Bantani telah lebih dulu membuktikan bahwa pesantren di Indonesia tak hanya sekedar unggul dalam tradisi bicara, namun juga teladan melalui perbuatan dan menulis. Hingga saat ini, tulisan-tulisan Syekh Nawawi Al-Bantani masih turut serta berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Penutup

Sebagai kaum yang berpendidikan, penting bagi kita untuk meneladani serta mengimplementasikan sikap dan semangat dari Syekh Nawawi Al Bantani dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya yakni melalui ketekunan beliau dalam dunia literasi. Hal ini dapat dilakukan dengan menulis dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi orang lain. Dengan itu, kita dapat memperluas ruang yang dalam menyebarkan kebaikan atau berdakwah meskipun hanya melalui tulisan. Oleh karena itu, kesadaran diri dalam dunia literasi sangat penting bagi kita demi membantu menemukan jati diri Indonesia sehingga mampu bersaing dengan negara-negara lain di dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Anisa, Azmi Rizky, dkk. “Pengaruh Kurangnya Literasi serta Kemampuan dalam Berpikir Kritis yang Masih Rendah dalam Pendidikan di Indonesia”. Current Research in Education: Conference Series Journal (Vol. 01 No.01 2021).

Ummah, Siti Rohmatul. “Relevansi Perintah Iqra’ Pada Wahyu Pertama Bagi Masyarakat Modern”. PANCAWAHANA: Jurnal Studi Islam (Vol.12 No.1 April 2017).

https://artikula.id/andyrosyidin/syekh-nawawi-al-bantani-dan-budaya literasi/ (diakses pukul: 16.11)

Oleh: Febyarina Alifah Hasna’ Nadzifah
Juara 1 Lomba Essay dalam Rangka Memperingati Hari Aksara Internasional 2021 Unit Kegiatan Santri Perpustakaan PPTI Al Falah Salatiga

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini