Safira terduduk cukup lama. Helaan nafas kasarnya pun terlepas. Mungkin tak ada yang mendengarnya. Tapi, jika mendengarnya, bisa jadi kalian mengerti seberapa putus asanya Safira.
Dadanya tiba-tiba sesak, tapi tangis tak mau pecah. Membuat sesak itu semakin parah. Ketika orang bilang, “jangan menangis! Sudah!” Safira benar-benar ingin menentang mereka. Bahkan Hamka membela tangisan perempuan dalam bukunya, “apakah pelarian seorang perempuan selain tangis?”
Tapi, lagi-lagi tapi, Safira tak bisa menangis. Amarah, kegelisahan, bahkan keputusasaannya teramat sulit terlupakan. Dan justru, menyakiti hatinya.
***
Safira mendekap erat kitabnya dan berlari menerobos hujan. Ya, ia sudah terlambat dan hujan justru menerpanya. Tapi, sudahlah.
“Assalamu’alaikum,” ujar Safira pelan sembari mengetuk pintu kelas, lalu hendak menghampiri ustazah untuk mencium tangan.
“Wa’alaikumsalam, langsung duduk mawon, Mbak. Tidak usah salim.”
“Nggih, Ustadzah.” Safira dengan cukup merasa bersalah pun memilih sendiko dawuh. Lalu, bergegas ke tempat duduknya.
“Dari mana? Di kamar nggak ada, kukira sudah berangkat,” Alin menepuk pundak Safira meminta kejelasan.
“Dari kamar mandi, perutku sakit.”
“Sekarang gimana, udah mendingan?” tanya Alin yang mulai khawatir yang dijawab Safira dengan anggukan kecilnya. “Alhamdulillah deh.”
“Baik, ada yang bisa memberikan contoh dari fi’il mudhori’ dan alasannya?” tanya ustazah tiba-tiba yang langsung membuat Alin mengangkat tangan dan menjawab dengan lancarnya.
Memang seperti itulah teman Safira yang satu ini. Sangat cerdas. Ya, Safira pun seringkali menyesali diri, mengapa ia tak secerdas temannya itu.
***
Safira mendudukkan dirinya di teras kamar pondoknya. Ia membuka beberapa kitab yang ada di hadapannya, berharap bisa menyerap setidaknya sedikit. Tapi, belum lama ia pun menjatuhkan kepalanya, memasrahkan dahinya terbentur meja kecil itu. Ya, ia pusing. Tak mengerti apa yang tertulis dalam kitab-kitab itu. Benar-benar asing.
Ia pun memilih kembali masuk kamar dan hendak beristirahat. Tapi, tak mudah bagi Safira. Kamar itu sudah penuh, sesak. Dan ya, Safira tak berani meminta temannya untuk geser. Ibarat kata, ia masih rikuh. Memutar balik badannya pun menjadi pilihannya sekarang.
Ia berjalan, menyusuri komplek pondoknya itu, entah langkahnya akan membawanya ke mana. Penyesalan itu pun menghampirinya. Benaknya memberontak.
Bagaimana bisa aku di sini?
Mengapa aku mengiyakan untuk dijauhkan dari rumah? Padahal rumahku adalah tempat terbaik yang pernah ada.
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang berkutat di kepalanya. Hingga akhirnya, ia menemukan tempat untuk menyendiri. Entah menggerutu atau sekedar menyalahkan diri. Tapi, tiba-tiba saja sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
“Halo!” Safira memasang senyum manisnya.
“Piye kabare, Nduk?” ujar seseorang dari seberang sana.
“Alhamdulillah, rumah pripun, Bu?”
“Alhamdulillah, apik-apik. Kapan boleh disambang, Nduk?”
“Belum boleh, Bu. Masih corona.”
“Oalah, ya sudah. Semangat ya di sana, jangan lupa maem. Kesehatannya dijaga.”
“Nggih, Bu. Rumah juga sehat-sehat.”
Panggilan itu pun terputus. Air matanya pun tak kuasa ia bendung. Banyak sekali yang ingin ia adukan, banyak sekali keluh kesah yang ingin ia luapkan. Tapi, lidahnya kelu. Ia tak mampu mengucapkan itu.
Ingatannya kembali pada berbagai hal berat yang harus ia alami. Terutama, menyadari seberapa bodoh dirinya ketika berada di tempat itu. Pula, ia tak kunjung memiliki teman selain Alin. Bahkan, pada Alin pun tak mudah untuknya bercerita. Benar-benar menyesakkan.
Mungkin orang-orang menyalahkan dirinya karena tak berusaha bersosialisasi. Tapi, jangan salah sangka! Safira lah orang yang paling menyalahkan diri atas perkara ini. Ia juga ingin seperti orang lain. Tapi, perpindahan peran dan tempat tak semudah itu bagi Safira.
***
“Al Falah itu artinya kemenangan. Jadi, bersyukurlah kalian bisa berada di rumah tercinta ini. Kalian adalah orang-orang yang menang,” ujar Pak Ustaz yang membuat Safira seketika tertegun.
Jam pelajaran pun usai. Pak Ustaz segera keluar dari kelas diikuti oleh santri-santri yang lain. Safira pun berjalan pulang ke kamar, tapi masih tetap dalam lamunannya.
“Fir! Kenapa?” senggol Alin yang membuat Safira sedikit terlonjak.
“Eh, nggak apa-apa, Lin.”
Mereka pun melanjutkan jalan beriringan. “Eh, bentar, Fir!”
“Kenapa, Lin?”
“Dari tadi kamu melamun terus, Fir. Pasti kepikiran sesuatu. Coba cerita deh!”
“Emm, nggak apa-apa kok, Lin. Cuma, agak bingung aja. Kok ngendikonya Pak Ustadz kaya berbanding terbalik sama yang aku alami, ya?”
“Emang yang mana, Fir?” tanya Alin yang tak kunjung dijawab oleh Safira. Keraguan pun teramat jelas di wajah Safira. Tapi, untung saja Alin segera peka akan hal tersebut. “Oke deh, kalo kamu enggak mau cerita enggak apa-apa. Tapi, coba deh kamu bolak-balik sedikit mengenai apa yang kamu alami. Coba cari sinkronisasinya sama ngendiko Pak Ustaz. Insyaallah ketemu, kalau kamu mau temenan mencari kebenarannya.”
Safira mengangguk. “Emm, oke deh, Lin. Makasih, ya.”
***
Semilir angin mulai menerpa Safira. Setelah cukup lama hawa panas mengusiknya. Tapi, Safira tak lagi peduli. Safira termenung. Masih saja memikirkan hal-hal yang merasa mengganjal di benaknya.
Di mana letak kemenangan itu?
Safira masih berkutat dengan pemberontaknya, rasa tak terimanya. Ia ingin pulang. Masih ingin pulang. Tapi, sebesar apa pun upayanya mencari cara kabur, hatinya tak sekuat itu.
“Adakah yang doanya dikabulkan? Kalau merasa tidak, coba dicek lagi, mungkin kalian kurang teliti.”
Kalimat tutur Pak Ustaz itu tiba-tiba terbesit di ingatan Safira. Dan lagi-lagi, ia harus memutar otak. Tapi, kali ini mungkin kejelasan itu akan dia temukan.
***
Safira memasuki kamarnya, tapi tidak dengan raut yang sama. Senyuman itu tertoreh, menghiasi wajah manisnya.
“Fir, dari mana? Dari tadi aku cariin!” ucap Alin seketika.
“Biasa,” jawab Safira yang memang agak absurd. Tapi, Alin tidak lagi protes. Ya, selagi temannya itu sudah kembali.
“Makan yuk, udah aku masakin mie nih!”
“Wah, makasih, Lin.”
Entah mengapa, Safira seolah menemukan jalan hanya dengan kalimat itu. Pemikirannya seketika berubah. Dan sekarang ia sadar, ia memang beruntung.
***
Ya Rabb, izinkan hamba masuk kampus itu dan membanggakan orang tua hamba.
Allah tak mengizinkan Safira masuk ke kampus impiannya itu. Dan itu pun, menjadi ingatan buruk bagi Safira.
“Doa mana yang terkabul?” gumam Safira. Ia pun masih berfikir panjang, hingga akhirnya ia teringat pada beberapa doanya.
Ya Rabb, pertemukanlah hamba dengan orang-orang baik.
Ya Rabb, izinkanlah hamba mempelajari dan mengetahui banyak hal.
Ya Rabb, bantulah hamba menjadi orang yang lebih baik.
Itulah beberapa doa yang ia ingat, ternyata benar-benar dikabulkan oleh Allah. Dan di sinilah dia, di PPTI Al Falah Salatiga. Di mana ia menemui orang-orang yang senantiasa berjuang di jalan Allah alih-alih ketakutan akan dunia, di mana ia mengetahui bahwa ilmu itu lebih luas dari samudra alih-alih mengaggap dirinya terlarut dalam kebodohan, dan di mana ia akan dituntun untuk menjadi pribadi yang lebih baik alih-alih bersembunnyi dalam zona aman.
Memang tak mudah, bahkan terasa berbanding terbalik. Tapi, ini proses. Dan sekarang, Safira memahaminya. Ia harus berusaha dan tentunya bersyukur. Karena, Allah menolak satu doa yang tentu tak akan membuat Safira seberuntung ini. Tapi, Allah mengabulkan lebih banyak doanya yang lain.
Ya Rabb, tuntunlah hamba selalu di jalan-Mu.