Beranda Artikel Mahasantri Bukti Kolaborasi Agama dan Zaman

Mahasantri Bukti Kolaborasi Agama dan Zaman

781
1
Oleh: Aqila Hilwa

Apa itu mahasantri? Mahasantri terdiri dari dua suku kata yaitu maha dan santri. Maha memiliki arti bahasa ialah sangat; amat; teramat. Dan santri yang di artikan secara umum ialah seseorang yang mengemban pendidikan agama di pesantren. Mahasantri disini diartikan sebagai santri yang mengemban pendidikan pada dua elemen yaitu pesantren dan perguruan tinggi.

Mahasantri memiliki aktivitas yang padat, waktu digunakan pada dua habit yang berbeda. Tidak hanya berbeda pada tempat saja akan tetapi juga dalam budaya, ideologi dan pola aktivitas. Mahasantri mengkolaborasikan dua habit yang berbeda pada satu kesatuan. Dan tetap berjalan dengan baik meski memang tidak mudah. Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah telah membuktikan bahwa mahasantri mampu menjalani harinya dengan baik bahkan jauh lebih baik. Pondok pesantren menjadi wadah mahasantri meselarasakan religiusitas dengan intelektualitas. Mahasantri tidak hanya mengaji, juga mengkaji keilmuan lainnya.

Mahasantri berupaya menjadi bagian masyarakat yang memiliki multi-tasking dari dua sudut pandang, yaitu agama dan intelektual. Maka dari itu mahasantri berupaya untuk membangun masyarakat yang bermartabat. Sebelumnya Kita harus mengetahui arti dari martabat itu sendiri, di Lansir dari Wikipedia Martabat adalah hak seseorang untuk dihargai dan dihormati dan diperlakukan secara etis. Santri memiliki karakter ta’dhim yang begitu melekat sehingga menjadi point utama untuk mendedikasikan ke ta’dhiman nya kedalam masyarakat sebagai bentuk membangun kemartabatan. Kemudian pola pikir yang di bangun oleh diri mahasiswa membentuk pribadi yang paham akan norma dan nilai sosial yang berlaku, mahasiswa juga memiliki idealitas yang baik karena ilmu yang mereka pelajari lebih luas. Jika dua elemen ini digabungkan menjadi mahasantri maka terbentuk sebuah kepribadian yang religius serta intelektual.

Santri bisa memenuhi kekosong kekosongan yang ada di masyarakat, menjadi paku bagi celah yang tak beraturan di masyarakat. Sehingga terciptalah masyarakat yang bermartabat dan humanis. Selain itu mahasantri bisa menduduki di beberapa posisi elemen masyarakat yang memiliki kontribusi yang besar. MahaSantri bisa jadi dokter, mahasantri bisa jadi pengusaha, mahasantri bisa jadi pilot dan lain sebagainya. Tanpa menghilangkan karakteristik santri, yaitu takdzim dan tawadhu‘. Bahkan mahasantri bisa menjadi generasi penerus yang memiliki simpati yang tinggi, bahwasanya pesantren merupakan miniatur

masyarakat yang dapat Melatih mahasantri untuk kehidupan setelahnya saat mengabdi di masyarakat karena mahasantri sudah terbiasa berlatih mengabdi di pesantren. Mahasantri mengimplementasikan sebuah ilmu menjadi ilmu yang amaliyah dan amal yang ilmiah.

Ketika kamu bisa berpihak ke arah yang lebih tinggi. Kamu harus bisa meminjak kepalamu , agar kamu tidak silau dengan kedudukanmu. Selain syair ini, santri juga harus berpegang pada ayat, “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan- akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya…” (Q. S. Al- Maidah/5: 32). Dalam ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap manusia memiliki hak dan kewajiban untuk saling memelihara. Quran surah al maidah ayat 32 ini sangat revelan untuk menjadi landasan agar mahasantri mampu menjaga kestabilan martabat masyarakat.

Mahasantri memberikan pandangan baru untuk masyarakat, masyarakat yang awalnya menilai bahwa santri tidak bisa mengikuti perkembangan zaman dikarenakan di batasi dengan peraturan pesantren. Mahasantri memberikan sebuah pembaruan dalam mengembangkan prespektif santri dalam mempelajari agama. Bagaimana menyelaraskan agama dengan perkembangan zaman dan tetap menjalankan syariat yang sudah di pelajari. Dunia perkuliahan bisa disandingkan dengan dunia pesantren, ilmu yang di pelajari sejatinya saling memiliki konektivitas. Seperti tasawuf yang bisa disandingkan dengan ilmu psikologi, ilmu psikologi yang di pelajari dalam dunia perkuliahan menggunakan prespektif barat sebagai kiblatnya, disamping itu mahasantri mempelajari ilmu jiwa atau biasa dikenal dalam pesantren dengan ilmu tasawuf yang memiliki landasan dari imam Ghazali. Kedua ilmu tersebut memiliki kerterkaitan sekaligus perbedaan, hal ini memberikan nilai lebih bagi mahasantri dengan mahasiswa yang lain. Karena mahasantri memiliki sudut pandang yang lebih luas terhadap ilmu yang di pelajari. Jika mahasantri mampu mengkolaborasikan dua prespektif ilmu tersebut didalam kehidupan sehari hari, maka mahasantri akan lebih luwes dalam menjalani kehidupannya. Karena memiliki fleksibiltas dalam menghadapi suatu perkara, relasi keilmunya luas tidak hanya terpaku pada satu pintu keilmuan saja.

Keberlangsungan aktivitas mahasantri teratur sedemikian rupa karena terikat sebuah peraturan. Peraturan tersebut justru melatih mahasantri untuk manage waktunya. Apa yang di batasi dari mahasantri, memang baiknya di batasi. Mau di pesantren atau pun tidak hal itu memang sebenarnya dibatasi oleh syariat yang ada. Seperti halnya pembatasan dalam berhubungan lawan jenis, tidak asing lagi bahwa berhubungan secara intens dengan lawan jenis sebelum halal tidak dibenarkan dalam syariat Islam. Pesantren membatasi santri agar terbentuk karakter yang Islami dan tau akan batasan yang ada, karena jika tidak dibatasi maka akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Pesantren layaknya pedal rem mahasantri dalam mengarungi dunia, seperti yang di katakana oleh cak nun “dadi wong iku kudu bisa gas lan bisa nge rem”. Mahasantri boleh saja mengarungi keilmuan dunia seluas mungkin karena mencari ilmu merupakan fardhu ain bagi setiap muslimin.akan tetapi di sisi lain mahasantri harus tetap sadar bahwa ia merupakan santri, mahasantri harus bisa menjaga marwahnya sebagai santri jangan sampai jiwa kesantriannya hilang, seharusnya santri justru membawa jiwa kesantrianya dalam dunia luar sebagai salah satu cara santri untuk mengepakkan sayapnya lebih luas lagi, slogan “santri mendua” tidak hanya sekedar menjadi slogan, tetapi menjadi sebuah pembuktian yang nyata.

Mahasantri memiliki potensi yang besar untuk melambungkan namanya kekancah dunia. Mahasantri bisa menembus langit dengan doa doanya, mahasantri juga harus bisa percaya diri untuk melambungkan namanya di dunia dengan karya dan prestasinya. Mahasantri harus bisa dengan gagah dan berani menyatakan bahwa dia adalah santri. Dokter saja bisa melabeli dirinya seorang ahli spesialis dari suatu bidang begitupula santri seharusnya bisa melabeli dirinya sebagai ahli dalam bidang keagamaan meski dirinya memiliki profesi dalam bidang lain. Mahasantri sebenarnya mampu menciptakan kejayaan masa islam terdahulu, pasti ada Ibnu Sina pada zaman ini dan pasti ada Imam Ghazali masa kini yang bisa saja ada dari kalangan mahasantri. Tugas mahasantri yang harus di penuhi agar masa kejayaan islam kembali bangkit ialah percaya diri akan potensi dan karakterisik yang dimiliki.

Para ulama terdahulu sudah memberikan petuah bahwa pencari ilmu tidak hanya focus mencari tetapi diimbangi dengan pengamalan ilmu. Hal ini jika kita pikir lebih jauh tidak hanya soal nya pengamalan saja akan tetapi disisi lain pengamalan tersebut memberikan sebuah esensi bahwa mahasantri mampu memiliki kontribusi terhadap kehidupan nyata. Berkaitan dengan ungkapan bahwa mahasantri harus menjadi paku bagi celah celah yang tidak beraturan di masyarakat, jelasnya bahwa mahasantri harus bisa memenuhi realitas yang terjadi pada masyarakat dengan pola syariat yang sudah ia pelajari sebagai bentuk pengamalan ilmunya. Karena tidak semua masyaraka paham atas syariat yang ada, banyak sekali masyarakat yang masih tabu dan awam dengan hal yang musykhil apalagi perkara syariat, hal ini menjadi sebuah kesempatan untuk mahasantri melintasi kehidupan bermasyarakat untuk membuktikan eksistensinya.

Dengan demikian, harapannya mahasantri mampu memperdayakan dirinya untuk mengabdi dalam masyarakat. Menjadi pondasi menegakkan agama islam yang memiliki konektivitas dengan zaman dan modernisasi beragama. Mahasantri harus memiliki komitmen bahwa dirinya mampu menjadi salah satu elemen masyarakat yang kompeten dalam dua dimensi yaitu intelektual dan spiritual. Sehingga mahasantri mampu membangun hakikat martabat dalam masyarakat dengan akulturasi keislaman dan perkembangan zaman lalu menjalankan etos yang ada.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini