Pptialfalah.id – Sore yang menjengkelkan. Mimpi panjangku terhenti oleh bisikan kecil yang mendarat ke arah telingaku, “Ram, keluar yok”. Jujur bisikan itu sangat menggangguku, akan tetapi mau tidak mau aku harus mengakhiri semua mimpi-mimpi palsuku dan mengabulkan bisikan yang menggema. Aku pun memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur dan segera merapihkan diri.
Sore itu, cuaca sangat tidak mendukung. satu persatu awan gelap mulai datang menampakkan wujudnya. Belum lama, gerimis pun menyapa, kami yang masih dalam kondisi menuntun motor ke luar sempat dilanda kegundahan. Mau dilanjut atau tidak; kalau dilanjut takut di tengah jalan basah kuyup. Tanpa pikir panjang, Tio segera tancap gas secepat mungkin. Di bawah kendali Tio, motor benar-benar melaju begitu kencangnya menyusuri jalanan kota. Nampaknya jalanan masih ramai, banyak kendaraan yang melintas meski diguyur hujan. Mungkin banyak di antara mereka yang baru pulang kerja, sekolah, berdagang, atau usai melakukan kegiatan yang lainnya. Aku sih tidak peduli dengan hal itu, dan tidak terlalu memikirkan hal tersebut, karena yang sedang dalam pikiranku saat itu adalah “tidur lagi”. Mengingat mimpi palsuku belum menemui titik akhir cerita.
“Emang mau ke mana sih?” tanyaku.
“Makan.. hehe,” jawabnya menengok belakang sembari memperlihatkan gigi depannya.
“Wah, keparat. Kukira penting.”
“Biar kamu gerak. Habisnya tidur mulu, enggak capek apa?”
“Enggak. Tidur sudah mendarah daging dalam diriku.”
Tio pun tertawa mendengar jawaban dariku. Keheningan mulai hadir di antara kita. Tio menjadi gila, tegangan motor semakin besar, kecepatan di atas rata-rata. Semua kendaraan yang di depannya ia selip, baik motor, mobil, bahkan truk bermuatan sekalipun. Parahnya lagi, lampu merah pun ia terjang. Posisiku sebagai ma’mum yang duduk di jok motor belakang (pembonceng) tentu merasa takut akan kegilaan Tio. Apa yang dilakukannya sangat tidak patut ditiru karena sangat membahayakan, bahkan bisa-bisa terkena pasal karena melanggar aturan lalu lintas. Akan tetapi mau gimana lagi, keadaan sedang hujan ringan, otomatis kita harus cepat-cepat tiba di rumah makan yang dituju sebelum hujan lebat.
Tidak disangka dan tidak diduga, motor yang melaju begitu kencangnya kehilangan kendali.
“Ram, rama…. Ini gimana?”
“Emang gimana?” tanyaku balik karena penasaran.
“Rem blong.”
“Serius, jangan bercanda lu!”
“Serius…”
Takut, bingung, resah, semua bercampur aduk. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Dari arah belakang, terlihat sebuah bus dengan kecepatan tinggi mendekat ke kami. Bus tersebut tiba-tiba membunyikan klaksonnya, kami pun kaget. Tio reflek, dan membanting setir ke arah kiri.
“Braaakkkk…” Motor yang dikendarai Tio menabrak seorang bapak-bapak yang sedang berdiri di pinggir jalan.
“Ahhh… Tolong! Tolong! kakiku!” seru bapak tersebut.
Jalanan yang tadinya sepi, menjadi ramai seketika. Semesta yang tadinya hanya mengahdirkan gerimis, kini mulai mendatangkan tangis. Aku terlempar ke sisi kanan jalan, berguling-guling di atas bebatuan aspal. Jujur, aku tidak mengira bahwa masih akan diberi kesempatan oleh Tuhan untuk melanjutkan tugas hidup, karena seingatku wajah bagian bawahku merosot berkontak langsung dengan bebatuan aspal. Aku terdiam kebingungan, atau bisa dibilang setengah sadar. Seakan tidak percaya akan peristiwa yang terjadi. Percaya atau tidak percaya tetap harus percaya, karena semua yang terjadi di dunia tentu sudah digariskan. Sedangkan Tio, tubuhnya terhimpit dan tertindih awak motor yang dikendalikannya sendiri. Ia tak mampu bergerak sama sekali, tubuhnya kaku, diam tak bersuara, hanya rintihan kecil yang bersenandung dari bibirnya.
Warga pun berdatangan untuk melakukan pertolongan pertama. Aku dan Tio tidak apa-apa, sekedar lecet-lecet di beberapa bagian tubuh, akan tetapi parahnya bapak-bapak tadi yang sedang berdiri di pinggir jalan sangat tidak biasa-biasa saja. Kaki bagian kirinya tidak bisa digerakkan sama sekali. Darahnya terus mengucur tak ada hentinya. Salah satu warga sontak menelpon RS terdekat untuk segera mengirimkan mobil ambulance untuk membawa si bapak ke RS secepat mungkin, karena dikhawatirkan keadaan bapak semakin memburuk. Selang beberapa menit kemudian, sebuah mobil ambulance datang. Si bapak tadi segera dilarikan ke RS terdekat untuk ditindaklanjuti. Entah apa yang dirasakan Tio, aku tidak tahu. Rasa panik, was-was, takut, resah, khawatir tampaknya tengah menyelimuti diri Tio. Sedangkan diriku masih dengan keadaan yang sama, hanya bisa terdiam. Tidak banyak yang bisa kulakukan selain merangkul Tio dan mencoba untuk menenangkan dirinya.
Setelah tiba di RS, si bapak kemudian segera dilarikan ke ruang gawat darurat untuk segera ditangani. Aku dan Tio hanya bisa menunggu keajaiban Tuhan dari luar ruangan. Kita sangat berharap bahwa keajaiban itu benar-benar ada. Akan tetapi, semua tidak sesuai ekspetasi, masalah ini semakin rumit saja. Ternyata si bapak tersebut tulang kakinya patah di sekitar area lutut bagian bawah. Sulitnya lagi, masalah ini juga dikabarkan merembet ke pihak kepolisian.
“Insya Allah ada jalannya,” ucapku menenangkan Tio yang masih diselimuti kegelisahan.
“Aamiin”
Apa yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Setiap yang terjadi, pasti akan ada jalan keluarnya sendiri. Kita hanya perlu bersabar dan menunggu sejenak atas setiap permasalahan yang kita alami. Cepat atau lambat setiap permasalahan akan terselesaikan. Percayalah, semua pasti berlalu!
Setelah berjam-jam menunggu ketidakpastian, akhirnya kami dikabarkan bahwa si bapak sudah selesai mendapat penanganan dari dokter. Akan tetapi, penanganan itu hanya sementara, Tio masih saja tidak bisa tenang, kegundahan telah menjajah dirinya. Berkali-kali ia mondar-mandir tidak jelas layaknya orang yang sedang menahan hajat. Tidak lama kemudian, datang seorang pria menghampiri kami. Pria tersebut menanyakan kronologi kejadian yang sebenarnya. Seakan-akan pria tersebut adalah seorang intelegent yang sedang mencoba menginterogasi kami.
“Gini, mas. Motor anda sempat tertahan oleh pihak kepolisian. Untuk menindaklanjuti, dari pihak kepolisian meminta keterangan mengenai kejadian ini,” jelas beliau.
“Maaf. Sebelumnya, apakah masnya punya SIM, beserta surat-surat motornya?” lanjut beliau bertanya.
“Maaf, Pak, saya kebetulan belum punya SIM, kalau surat mah lengkap,” jawab Tio.
“Wah… tetap saja susah ya, masnya bisa terkena pasal double (menabrak orang dan berkendara tanpa SIM),” bebernya.
“Terus saya harus bagaimana?” tanya Tio.
“Tolong bantu saya Pak, saya bingung harus bagaimana, keluarga saya jauh dan terpaksa harus menghadapi masalah ini sendirian,” pinta Tio cemas.
“Ya, sudah. kamu tetap tenang, sabar, nanti akan saya coba bantu sebisa mungkin. Terpenting kamu mau untuk bertanggung jawab secara penuh.”
“Iya, Pak, demi Tuhan saya akan bertanggung jawab.”
“Ya, sudah. Saya pamit dulu.”
“Terima kasih banyak, Pak,”
Pria tersebut meninggalkan kami berdua di ruang tunggu. Kami tidak tahu apa yang nanti dilakukan pria tadi. Apakah ia benar-benar akan membantu? Atau hanya berpura-pura saja? Itu tidak penting. Hanya Tuhan yang mengetahui isi hati setiap ciptaannya.
Remang-remang lampu jalan terlihat dari jendela RS, tanda petang telah datang. Gerimis masih setia hadir berkolaborasi dengan cahaya lampu jalanan. Di atas kasur yang bahkan tidak terasa empuk sama sekali, terbaring aku dan tio menahan rasa sakit sisa tabrakan sore tadi. Sosok pria pun kembali menghampiri kami, lebih tepatnya menghampiri Tio yang sedang terbaring kaku..
“Mas, bapak-bapak yang kamu tabrak tadi harus dioperasi kakinya, ternyata setelah dirontgen kaki bagian depan bapaknya ada yang patah. Berhubung di sini tidak bisa menampung, maka bapaknya harus dipindahkan ke RS Solo untuk menjalani operasi.”
“Innailillahi. Terus gimana Pak?” Segera Tio bangkit memaksakan diri dari tempatnya berbaring.
“Alhamdulillah semua biaya operasi bakal ditanggung BPJS, jadi nanti kamu tinggal urus administrasi yang disini.” balas bapak intelegent
“Alhamdulillah.. emang beneran bisa pak, katanya harus melapor dulu ke kepolisian, sedangkan saya kan gak punya SIM??” wajah Tio setengah bahagia dan setengah khawatir, bahagia karena biaya operasi sudah dianggung BPJS dan khawatir jika dirinya tertangkap polisi, karena jika mengajukan BPJS harus melaporkan kronologi kecelakaan yang terjadi ke kepolisian dengan syarat SIM dan surat-surat kendaran si penabrak harus lengkap. Sedangkan Tio, SIM saja belum punya.
“Semua sudah aman mas, kecelakaannya sudah saya manipulasi menjadi kecelakaan tunggal, jadi yang dibutuhkan sebagai bukti adalah SIM dan kendaraan korban, disini status kamu sebagai pelaku sudah aman dan sudah tertutupi,” jelasnya.
Keajaiban ternyata memang benar-benar ada. Tuhan tahu, bahwa hambanya tidak akan diuji melainkan hamba tersebut mampu untuk menghadapi ujian yang diberi. Kekhawatiran, keresahan, kegundahan telah sirna, kini Tio benar-benar merasa lebih baik dari sebelumnya. Detak jantungnya mulai melambat, menandakan bahwa sekarang dirinya merasa lebih tenang.
“Ram, sumpah…” ucapnya gembira.
“Sumpah apa? Sumpah pemuda?” tanyaku penasaran.
Aku yang baru saja terbangun dari mimpi gelapku tentu kebingungan mendengar semua perkataan dari Tio. Mungkin bukan aku saja, semua orang pun kayaknya begitu. Bangun dari tidur, nyawa belum terkumpul sepenuhnya, tiba-tiba diajak berbicara membahas kehidupan. Menurutku, kehidupan tidak perlu dibahas, karena semua sudah digariskan oleh Tuhan. Itu menurutku, Tidak tahu menurutmu!
“Tadi kan intelegent datang, terus dia bilang bahwa semua masalah ini sudah teratasi. Mulai dari pemberangkatan ke solo, biaya operasi, hingga urusan kepolisian. Jadi, kita tidak perlu bersusah payah dan berlama-lama dalam kepusingan. Kita hanya perlu berdo’a supaya operasinya berjalan dengan lancar,” terang Tio.
“Alhamdulillahirobbil Aalaamiin Wabihi nasta’iin Wa ’ala Umuu riddunya wad diin.”
“Kok malah ceramah… Serius dong!” potong Tio.
“Siapa yang ceramah coba, bersyukur ini mah, cuman pake bahasa Arab aja biar lebih aestetik.” kataku sedikit meringis.
“Konsepnya bukan gitu juga kali,” ucap Tio sedikit kesal.
“Ya, iya, bercanda. Terus gimana kelanjutannya?” tanyaku.
“Kita disuruh pulang untuk beristirahat. Semua sudah dihandle oleh pria tadi. Katanya, semua akan baik-baik saja,” jelas Tio.
Kami pun memutuskan pulang dari RS untuk beristirahat. Dengan rasa sakit yang masih terasa, aku menyalakan mesin motor. Gigi motor aku pijak sebagai tanda bahwa motor akan segera melaju melewati keheningan kota. Di tengah kota, aku dan Tio menyusuri jalanan dengan rasa sakit yang kami pikul serta rintihan-rintihan kecil yang ikut serta bersama kami di sepanjang jalan.
Besoknya, kami dikabarkan bahwa si bapak sudah di bawa ke Solo dan operasinya telah berjalan dengan lancar. Mendengar kabar tersebut, kami pun lega, selega-leganya orang lega. Rasanya lebih fresh dan lebih plong. Ternyata benar bahwa pertolongan Tuhan itu ada di mana-mana. Tuhan senantiasa akan menolong hambanya dimana pun dan kapanpun, asalkan hambanya mau mendekatkan diri kepada-Nya. Tuhan akan mengutus beberapa orang baik hadir di dalam hidup kita tanpa kita sadari. Mereka datang, lalu mengajarkan banyak hal tentang arti kehidupan. Sejak saat itu, kami sadar bahwa bersabar dan bersyukur itu komponen paling utama dalam hidup. Semua akan lebih ringan jika mau untuk bersabar, dan semua akan lebih indah jika mau untuk bersyukur.
~ SELESAI ~
[…] Karena saking terburu-burunya tadi, nggak tahu dengan apa nanti aku membatalkan puasa, sedangkan perjalan antara Salatiga ke Surabaya cukup lama, Sekitar 10 sampai 11 jam. Biasanya bus transit di beberapa […]