Pptialfalah.id – Perempuan adalah ciptaan Tuhan yang dianugerahi potensi dan kemampuan yang sama dengan laki-laki. Perempuan, juga memiliki potensi dan kemampuan untuk berperan dan bekerja sebagaimana laki-laki. Mereka bisa menjadi pemimpin, baik dalam ruang domestik maupun ruang publik.
Di atas prinsip inilah maka tidak ada halangan bagi seorang perempuan menjadi kepala keluarganya, meski ada laki-laki (suami) di sana, sepanjang ia memiliki syarat-syarat kepemimpinan.
Kepemimpinan dalam konteks apapun selalu dikaitkan dengan syarat integritas, kapabilitas (kemampuan), dan bukan atas dasar jenis kelamin. Perbedaan biologi tidak seharusnya menjadi alasan untuk menghalanginya sebagai pemimpin.
Namun, dalam Islam, sebetulnya peran perempuan dan laki-laki itu sama. Dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 1 menegaskan:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ
Artinya: Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya. (QS. an-Nisa ayat 1).
Dalam surat ini, Allah Swt telah menegaskan bahwa penciptaan laki-laki dan perempuan dari nafs wahidah. Artinya, laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang sama.
Sehingga realitas sebagian masyarakat yang menganggap perempuan adalah makhluk kedua, saya kira hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Di dalam ajaran Islam dengan merujuk surat an-Nisa di atas, maka tidak ada pembedaan penciptaan antara laki-laki dan perempuan.
Oleh sebab itu, kita sebagai makhluk ciptaanya sebaiknya bisa mengambil pelajaran dari perintah Tuhan di atas. Yaitu jangan pernah membedakan laki-laki dan perempuan.
Islam Tidak Melarang Perempuan Menjadi Pemimpin
Padahal menurut Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qira’ah Mubadalah menyampaikan bahwa Islam tidak pernah melarang perempuan untuk menjadi pemimpin.
Konsep kepemimpinan dalam Islam mengedepankan kemaslahatan atau kebaikan dan itu tidak mengenal jenis kelamin atau gender.
Menurut ajaran Islam, hanya amal kebaikan seseorang lah yang diperhitungkan oleh Tuhan, bukan jenis kelaminnya.
Selain itu, menurut beliau konsep qowamah dalam QS. an-Nisa ayat 34 ini tidak sedang berbicara norma mengenai kepemimpinan laki-laki.
Tetapi mengenai norma tanggung jawab yang harus mereka emban sebagai yang memiliki kapasitas, kemampuan, dan harta yang cukup.
Dalam penegasan ayat ini, tanggung jawab laki-laki adalah menanggung, menopang, serta menolong orang yang lemah dan tidak memiliki harta.
Itu artinya syarat menjadi pemimpin bukan ada pada jenis kelamin seseorang, tetapi pada kapasitasnya. Di antaranya ialah melindungi, bertanggung jawab, menolong yang lemah dan lain-lain.
Kapasitas ini bisa ada di dalam laki-laki dan perempuan. Sehingga siapapun bisa dan boleh menjadi seorang pemimpin.
Pandangan KH. Husein Muhammad
Dalam pandangan KH. Husein Muhammad dalam buku Fiqh Perempuan menekankan kesetaraan gender berlandaskan kodrat kemanusiaan. Landasan kemanusiaan meniscayakan setiap individu memiliki peran yang sama di ruang domestik dan ruang publik. Kesetaraan gender dalam pendidikan Islam menunjukkan persamaan hak di hadapan Allah Swt.
Pandangan KH. Husein Muhammad di atas yang membedakan laki-laki dan perempuan adalah hanyalah ketakwaan mereka kepada Allah Swt.
Oleh sebab itu, dalam relasi kehidupan antara laki-laki dan perempuan tidak kita bedakan, karena semua makhluk di muka bumi ini semuanya sama.
Sehingga, laki-laki dan perempuan bisa hidup lebih setara, keduanya bisa mengakses ruang publik dan domestik secara bersama.
Maka, tidak ada lagi tentang relasi kuasa yang menjadi alasan mutlak bagi sebagian masyarakat untuk menjadikan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan.
Dengan begitu laki-laki maupun perempuan yang memiliki kapasitas, integritas, dan dukungan politik yang cukup, maka ia berhak untuk menjadi seorang pemimpin. []