Pptialfalah.id – Menurut teman-teman, apakah perempuan bisa memimpin? Perempuan dan laki-laki sejatinya sama, yaitu manusia. Di mana tugas utama manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi. Sehingga ia layak menjadi khalifah (pemimpin) ketika ia mampu.
Banyak statement masyarakat, manusia yang pantas menjadi pemimpin hanyalah laki-laki. Masyarakat menganggap laki-laki lebih tegas dan bijak dalam mengambil keputusan sedangkan perempuan tidak.
Dalam masa pra-Islam pun keberadaan perempuan tidak ada harganya. Perlakuan masyarakat jahiliyah pada masa itu sangat semena-mena.
Perempuan sebatas barang yang dapat diwariskan, mereka mengubur perempuan hidup-hidup, mempoligaminya tanpa batas, dan menyerahkan sebagai barang rampasan perang.
Ketika Islam datang, semua berubah. Perempuan mendapatkan perlakuan yang lebih mulia. Mereka memiliki kedudukan dan hak yang sama dengan laki-laki. Bahkan mereka bisa juga menjadi pemimpin.
Tidak menutup kemungkinan kaum hawa bisa menjadi seorang pemimpin. Dengan bekal kecerdasan, ilmu, pengetahuan, dan pengalaman bisa jadi perempuan lebih berhak memimpin dari pada laki-laki.
Kita tengok ke belakang, banyak jejak pemimpin dari kalangan wanita yang telah mengambil peran. Mulai dari Khadijah binti Khuwailid, Aisyah binti Abu Bakar, Fatimah Az-Zahra (tokoh masa peradaban Islam) hingga Malahayati.
Malahayati Seorang Pemimpin Muslimah
Keumalahayati atau orang biasa memanggilnya Malahayati. Tokoh pemimpin Muslimah yang tak kalah hebat dari Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia. Malahayati memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia.
Perempuan Aceh ini lahir pada 1 Januari 1550. Malahayati, putri dari Laksamana Mahmud Syah yang merupakan seorang panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh. Cicit dari raja Kesultanan Aceh kedua (1530-1539), yaitu Sultan Salahuddin Syah.
Malahayati mengemban jabatan penting sejak usia 35 tahun. Ia menjabat sebagai Panglima Protokol Pemerintah dan Kepala Barisan Pengawal Istana Rahasia di era pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukkammil.
Mendirikan Pasukan Perang “Inong Balee”
Malahayati mendirikan Inong Balee (pasukan perang yang beranggotakan para puan). Melansir dari detik.com, Inong Balee merupakan pasukan perang yang berisikan prajurit perempuan Aceh pada masa penjajahan Belanda dan Portugis. Jumlah prajurit yang ia pimpin mencapai 2000 orang yang berstatus janda.
Pasukan ini menjadi simbol keberanian dan kekuatan perempuan Aceh yang berhasil mengalahkan Belanda. Hal inilah kita menyebut Malahayati sebagai laksamana perempuan pertama di dunia.
Malahayati melakukan perlawanan terhadap Portugis pertama kali pada pertempuran di perairan Teluk Haru pada tahun 1586. Suaminya, Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latif memimpin pertempuran tersebut. Puluhan kapal kayu Kesultanan Aceh membendung perlawanan dari Portugis.
Pada saat itu, Portugis berhasil mundur hanya saja suaminya gugur kemudian ia lah yang melanjutkan perjuangan sang suami.
Malahayati Menjadi Pahlawan Nasional
Malahayati wafat pada tahun 1615 dan Desa Lumreh, Krueng Raya menjadi tempat peristirahatan terakhirnya. Tanggal 9 November 2017, Presiden Joko Widodo menetapkan Malahayati sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keppres RI Nomor 115/TK/2017.
Tak hanya itu, nama Malahayati diabadikan sebagai nama kapal perang Angkatan Laut serta nama pelabuhan di Desa Lumreh Krueng Raya, Mesjid Raya, Aceh Besar.
Jadi teman-teman, terdapat beberapa poin yang dapat dipetik dari kisah inspiratif Malahayati ini. Stereotip bahwa perempuan itu lemah dapat terpecahkan. Kita belajar bahwa wanita memiliki peran yang sama pentingnya dalam sejarah dan pembangunan bangsa.
Di mana sosok Malahayati ini merupakan manusia yang tangguh dan berani dalam mempertahankan NKRI. Bukan berarti status “perempuan” menjadikan gerak langkahnya terbatasi.