Oleh: Shofi Malia Rohmah
Isu Radikalisme dan Terorisme semakin menyemarakkan isu internasional, bahkan memunculkan banyak polemik. Bukan hanya antar ormas namun juga antar agama. Jika Dalang “Radikalisme” dan “Terorisme” adalah muslim sendiri, bagaimana dengan Islam yang rahmatan lil ‘alamiin? Untuk itu, siapa sebenarnya dalang dari teror pembunuhan yang melibatkan banyak orang?
Jika ditelaah lebih lanjut, awal dari “Radikalisme” adalah kekecewaan pada suatu ideologi, tetua, atau negara dengan pemahaman dan konteks kekecewaan yang sangat mendalam. Sehingga, mereka mudah dimasuki pemahaman baru dengan iming-iming surga serta bidadari-bidadari cantik. Meskipun, itu artinya mereka sama saja berkecimpung pada kejahatan – tanpa mereka sadari atau telah sadar namun dialih bahasakan dengan balas dendam – atau daripada mereka (korban) semakin merusak dunia. Sehingga “rela” mengorbankan nyawa sendiri dan nyawa-nyawa masyarakat yang terjebak didalamnya demi tegaknya “pemahaman agama yang keliru”.
Sebagai santri, kita tidak bisa terus menerus tinggal diam ditengah orang-orang yang merusak agama sembari mengklaim bahwa mereka telah melayani serta melindungi agama, kebenaran, bangsa, dan kehormatan orang lain. Namun, tidak mudah menangani kasus yang seperti ini. Karena arah pergerakan oknum-oknum dalam pendoktrinan kader sudah ter-sistem dan terstruktur. Pergerakannya pun jarang terlacak oleh khalayak. Karena, sistem mereka masuk perlahan pada ideologi anak-anak muda, terutama yang sedang terlibat masalah tentang jati diri. Sehingga penyusupan doktrin-doktrin baru mudah ditangkap dan dimengerti oleh remaja tersebut.
Jika selama ini kita beranggapan kekerasan diimbangi dengan kekerasan serta senjata dengan senjata, tindakan itu justru sangat tidak tepat untuk memberantas “Radikalisme” dan “Terorisme”. Karena akar masalah utamanya adalah pemahaman ideologi yang tidak tepat. Pelurusan terhadap ideologi dan penegakan hukum-hukum Islam harus diterapkan dengan benar, agar tidak terjadi salah tafsir atau salah cipta.
Karena itu, “Ideologi Santri” harus diterapkan untuk mengikis “Radikalisme”. Dengan ruang lingkup keilmuan yang jelas sumber dan sanadnya, serta bimbingan keilmuan yang berasal langsung dari Asatidz dan kitab-kitab, santri dapat menjadi rujukan sebagai penguat pedoman dan referensi penjabaran terkait masalah keagamaan yang masih umum. Agar pemahaman dalam beragama dikuasai utuh sehingga tidak mudah menyalahkan dan tidak mudah disalahkan.
Selain itu, santri sebagai kader penerus perjuangan ulama harus berani mengambil sikap wasathiyah dengan meluruskan pemahaman yang salah kaprah dalam masyarakat, tanpa unsur kefanatikan kepada ormas tertentu. Karena kefanatikan terhadap suatu ormas justru akan menambah peperangan antar golongan. Bersikap tasamuh, moderat, merangkul, dan mengkader remaja agar tidak terjadi kesimpangan ideologi dalam beragama bisa menjadi langkah awal dalam menyebarkan ideologi ke-santri-annya. Juga turut meramaikan platform digital dan media sosial dengan konten-konten yang menambah pengetahuan terkait beragama yang benar. Sehingga mudah diakses khalayak dan paparan “Radikalisme” bisa dikurangi. Kebanyakan korban dari “Radikalisme” ini adalah remaja yang belum terisi agama secara menyeluruh. Untuk itu, menyisipi setiap sesuatu dengan “ideologi santri” diharapkan bisa menjadi media beragama tanpa kekerasan dan penyelewengan. Wallahua’alam.
[…] tanpa pesantren hambarpesantren tanpa NU bisa radikalNU, pesantren besarPesantren, NU yang […]