Suara merdu lantunan ayat Al Qur’an terdengar dari sudut pesantren. Menambah syahdu suasana pesantren sore ini, menandakan sebentar lagi azan akan berkumandang. Gemuruh suara derap langkah dan saut-menyaut gurauan santri-santri menambah ramai suasana.
“Allahu Akbar Allahu Akbar…”
Lantunan azan menghentikan dia membaca buku dari balik jendela dengan kaca terbuka itu. Sepoi angin sedikit menyibakkan jilbab merahnya. Ia tutup rapi bukunya dan meletakkannya di atas sebuah etalase kecil di samping jendela bersama buku-buku lain yang berjejer rapi di sana.
Merapikan jilbab dan beranjak dengan senyuman khas pada lesung pipinya. Berjalan keluar dari kamar kecil itu dengan ukuran 3×6 meter dengan penghuni 15 santri, yang menjadikan sesama penghuni saling mengenal dengan baik dan hangat.
“Salwa.. Ndang wudhuo, selak qomat lo kae,” panggil salah satu santri tepatnya sahabat Salwa dari luar kamarnya.
“Iyo Nin, sabar to,” membuka pintu kamarnya dan menyamai langkah Ainin.
Mereka berdua berjalan berdampingan dari lantai 3 menuju kamar mandi yang terletak di lantai 1, cukup jauh memang. Namun sepanjang perjalanan Salwa selalu mengoceh tak karuan, sehingga tidak terasa sudah sampai di depan kamar mandi.
…
Berangkat jamaah dan menempatkan diri di shaf pertama, pojok sebelah kanan menjadi tempat favorit mereka. Santri lain pun tak berani menempati tempat itu.
Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa tempat itu adalah tempat Salwa dan Ainin, santri yang paling rajin jamaah, selalu berangkat di awal waktu dan pulang di akhir waktu.
Namun tak sedikit santri yang menganggapnya “caper” dan tebar pesona pada Ustaz Ali, salah satu tenaga pendidik di pesantren ini, putra dari adik abah pengasuh pesantren ini.
Siapa tidak terpesona dengan kealiman dan kecerdasan Ustaz Ali, dengan wajah tampannya yang penuh wibawa, membuat semua orang terpaku ketika memandangnya, tak terkecuali Salwa.
Sejak awal masuk pesantren dia sudah terpesona dengan Ustaz Ali, dan semua santri tahu jika dia menyukai Ustaz Ali, tingkahnya ketika mengaji dengan Ustaz Ali tak mampu membohongi siapapun, termasuk Ustaz Ali sendiri.
Saat itu jam mengaji dengan Ustaz Muhammad, namun beliau tidak hadir karena ada halangan. Ternyata diwakili atau “dibadali” bahasa pesantrennya oleh Ustaz Ali. Semua kepala menunduk karena ta’dzim.
Kecuali sepasang mata yang curi-curi, mengintip dari balik barisan santri lain yang tengah menunduk. Mata milik Salwa tentunya, pesona Ustaz Ali membuatnya tak mampu menahan diri untuk tidak memandang paras yang berwibawa itu. Salwa terus memandangi beliau hingga tak sadar kelas mengaji telah dimulai.
“Mbak Salwa… Mbak Salwa…” tegur Ustaz Ali karena dia melamun begitu lama.
Namun Salwa masih demgan pandangan dan posisi yang sama, memandangi Ustaz Ali dengan senyum-senyum sendiri. Seluruh santri dikelas memandang ke arahnya.
“Salwa, Sal,” bisik Ainin tepat ditelinganya dengan menepuk pipinya berkali-kali sampai Salwa sadar. Dia gelagapan karena semua orang memandang ke arahnya.
“Maaf Ustaz,” dengan malu dan menutupi wajahnya dengan kitab.
Mulai hari itu semua santri mengetahui bahwa Salwa menyukai Ustaz Ali, setiap kali mengaji selalu diledek. Namun Salwa tak mengindahkan ledekan teman-temannya, karena dia tidak ingin Ustaz Ali mengetahuinya.
Setelah kelas mengaji selesai, seluruh santri kembali ke asrama masing-masing untuk melakukan kegiatan lain, kecuali Salwa dan Ainin serta beberapa santri lain. Mereka asyik musyawarah mengenai pelajaran yang diajarkan oleh Ustaz Ali.
Setiap hari mereka memang senang bermusyawarah mengenai ilmu kepesantrenan, seperti fiqih, nahwu-sharaf, aqidah, dan lain sebagainya. Saat mereka sedang asik berbincang, tiba-tiba seorang santri menghampirinya, yang ternyata adalah Rani.
“Caper aja bangga,” ucap Rani dengan memandang ke arah Salwa.
Rani dulu bersahabat erat dengan mereka, namun karena berpikir Salwa lebih menyayangi Ainin dibanding dirinya. Akhirnya dia membenci Salwa, ditambah ketika berita dia menyukai Ustaz Ali menyebar.
Yang jelas Rani telah menyukai Ustaz Ali sejak lama dan mereka mengetahui itu semua. Salwa memandang ke arah Rani.
“Maksudnya apa ya?” tanya Salwa yang heran dengan perkataan Rani.
“Gausah sok polos, kamu itu cuma tebar pesona dan cari perhatian sama Ustaz Ali kan? Semua santri juga sudah tahu itu!” jawab Rani dengan hampir berteriak pada Salwa.
Belum sempat Salwa menjawabnya, Rani sudah ngeloyor keluar dari kelas dengan membanting pintu.
Ainin mengelus pundak Salwa dengan lembut.
“Sudah lah Wa, kamu nggak usah dengarkan kata-kata Rani, memang dia kan seperti itu orangnya.”
“Aku harus bagaimana Nin, agar Rani tidak marah lagi padaku?” tanya Salwa dengan mata berkaca-kaca.
“Katakan padanya bahwa kamu tidak menyukai Ustaz Ali,” saran Ainin pada Salwa.
“Meski aku tahu kamu memang menyukai Ustaz Ali, namun untuk kebaikanmu juga. Kamu harus hilangkan perasaanmu itu, kamu harus melawan egomu demi persahabatanmu dengan Rani. Kamu paham itu kan Wa?”
Salwa berlari mengejar Rani yang belum jauh dari kelas mengaji.
“Ran, Raniiii” panggil Salwa dari jauh.
Meski sebenarnya Rani mendengar itu namun dia tak menoleh sedikit pun. Rasa kesal dan cemburu memenuhi hati dan pikirannya.
“Please Ran.. Tunggu aku, aku mau bicara,” dengan nafas tersengal-sengal karena berlari.
Rani pun berhenti dan membalikkan badan.
“Mau ngomong apalagi kamu?” tanya Rani dengan nada suara tinggi.
“Ran, maafin aku, apa yang kamu pikirkan itu nggak bener. Aku dan Ainin masih sangat menyayangimu dan kami nggak pernah membeda-bedakan kamu, kamu adalah sahabat kami. Kita masuk pesantren ini sama-sama maka kita harus sukses sama-sama dong. Dan yang terakhir, aku nggak suka sama Ustaz Ali,” jawab Salwa dengan penuh keyakinan.
Rani tertegun dengan jawaban Salwa. Dia tak menyangka Salwa akan bicara seperti itu, karena dia yakin bahwa Salwa lebih menyayangi Ainin dari pada dia.
Namun melihat Salwa dengan penuh keyakinan, dia sadar bahwa memang dia telah salah paham pada Salwa dan Ainin, terlebih masalah Ustaz Ali.
“Maafkan aku Wa, aku yang sudah salah paham,” peluk Rani pada Salwa dengan deraian air mata.
“Aku tahu itu Ran, jangan salah paham lagi ya,” peluk Salwa lebih erat, dan dia pun tak mampu menahan air matanya.
Mereka berdua berpelukan dan sama-sama menangis penuh haru. Ainin mendekat, memeluk keduanya. Mereka pun menjadi sahabat yang lebih memahami satu sama lain.