Malam yang tidak terlalu panjang telah dilewati. Mata-mata masih sedikit belum terobati dengan tidurnya, tiba-tiba bel berbunyi dengan lantangnya. Suaranya menggelegar menyusup di kamar-kamar.
Sebelum adzan subuh berkumandang, santri yang telah dapat jatah piket segera mengambil sapu. Berjalan memasuki kamar-kamar, dipukul perlahan sampai benar-benar sadar dari mimpinya. Kadang kala masih ingin tidur kembali, tetapi adzan subuh berkumandang. Inikah yang dinamakan “keterpaksaan”, tidak, itu kewajiban.
Matahari masih belum menampakkan dirinya sendiri. Saatnya ganti baju, mengambil peci, sajadah, sandal jepit, dan berjalan menyusuri tangga menuju lantai dasar. Dalam separuh kesadaran, suara kaki melangkah menuju kamar mandi. Dilihatnya kamar mandi masih kosong, segeralah masuk dan buang air kecil seperlunya. Tapi tetap saja ada yang kurang, buang air besar lanjutannya. 5 menit berlalu, segeralah keluar dari kamar mandi menuju tempat wudu. Bukan hanya Jepang ataupun Korea yang punya budaya antre, untuk berwudu pun harus membudayakan antre. Tiba sudah gilirannya, saatnya mengambil air wudu dan menyegarkan muka dengan air.
Ritual wudu telah selesai, selempangkan sajadah di pundak dan berjalan menuju aula. Belum sempat melakukan sunah, iqamah sudah berkumandang, “ah sudahlah”. Segera bentangkan sajadah, meluruskan niat, takbiratul ihram “Allahhu Akbar”. Dalam kekhusyukan ibadah Subuh, eh malah ketiduran. 2 rakaat telah selesai, sembari berdoa dan menyerahkan segenap jiwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Waktu menunjukkan pukul 05.00 WIB. Buku, kitab, pulpen, satu dalam genggaman tangan. Duduk di bangku masing-masing, menunggu ustaz/ustazah datang. Setengah jam menunggu, ternyata ustaz/ustazah sedang berhalangan datang. Mungkin ini yang disebut kesempatan. Tanpa basa-basi, keluar kelas, menuju ke kamar, dan tidur kembali.
Bel kembali berbunyi, apalagi kalau bukan saatnya sekolah. Tetapi perut masih keroncongan, lagian sekolahnya masih daring. Dapur tujuan saat ini, ambil piring, nasi, sayur lodeh, gorengan tahu, itu pun kalau masih ada, dan makan. Iya, makannya seadanya dan sesederhana saja. Itu sudah membuat perut terjaga. Setidaknya tidak membuat jatuh sakit.
Dibuka ponselnya, dan lihatlah notifikasi di layar yang menunggu. Tugas, atau kabar dari dia yang muncul? Ah entahlah, kewajiban yang sekarang adalah menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah. Masalah pasti akan selalu ada, tugas yang kadang terasa aneh, banyaknya enggak kira-kira, jaringan internet lambat, enggak ada yang dimintai bantuan, sampai kuotanya habis. Tapi untung masih ada Wi-Fi, ya walaupun berbayar dan mungkin lebih lambat daripada paket data. Setidaknya tidak ketinggalan informasi sekolah. Di sela-sela sekolah kadang menyempatkan diri untuk mengulas hafalan ataupun mengulang materi mengaji yang disampaikan ustaz/ustazah. Terkadang memang merasa tidak mungkin untuk bisa menyelesaikan semua itu. Tetapi, selagi masih bisa berusaha kenapa tidak. Walaupun terasa berat, ini belum seberapa jika dibandingkan apa yang akan dihadapi suatu saat nanti.
Sekarang saatnya mengisi perut menjelang zuhur. Ya memang menjelang zuhur, karena waktu enggak pernah mundur. Buka lemari, ambil dompet, keluarkan uang dengan nominal sekecil mungkin, ambil sandal, keluar kamar, berjalan turun tangga, sampai depan koperasi, masuk, ambil jajan, bayar dulu, kemudian balik lagi ke kamar, dan makan.
Azan zuhur berkumandang, saatnya mempersiapkan diri untuk jamaah. Terkadang maunya tidur, ya karena namanya manusia malas juga ada. Prosesnya sama seperti saat subuh tadi dari mulai ganti baju sampai selesai salat. Yang berbeda adalah jumlah rakaatnya, sudah pasti tahulah 4 rakaat. Selesai sudah ibadah Zuhur, saatnya berdoa dengan baik, kembalikan semua masalah kepada Tuhan, dan selalu berusaha.
Sekembalinya dari jamaah Zuhur adalah saatnya mengistirahatkan tubuh di siang hari. Istirahat siang bisa dikatakan digunakan untuk bekal mengaji malam agar tidak mengantuk saat pembelajaran. Kembali menutup mata untuk sementara, menyelam dalam mimpi-mimpi. Waktu menunjukkan pukul 14:15 WIB. Menyudahi mimpinya di siang hari, segera mengambil handuk dan peralatan mandi. Berjalan menyusuri jalan yang cuma itu-itu saja.
Masuk ke kamar mandi dan melepaskan baju. Dicelupkan tangannya ke dalam bak mandi, dan “ah rasanya dingin sekali.” Di luar kamar mandi antre mengular panjang. Tanpa babibu walaupun dingin, ya memang harus cepat-cepat mandi. Air segera mendarat ke kepala dan turun menyusuri kulit-kulit tubuh. Sabun, sampo, sikat dan pasta gigi, dan sabun muka, itu sudah cukup. Setidaknya sudah bersih dan ganti baju, lanjutannya adalah keluar kamar mandi. Segera berjalan menuju tempat wudu. Dihidupkan kran airnya, kemudian berniat dalam hati untuk menyucikan diri.
Jeda mandi hingga waktu asar masih cukup panjang. Bel berbunyi entah yang ke berapa kali untuk hari ini. Ponsel-ponsel pintar kembali ke kantor untuk dikumpulkan. Tangan yang telah lama memegang ponsel, kembali memegang kitab dan mengulas kembali materi yang akan keluar saat pelajaran nanti. Tak berselang lama, panggilan salat jamaah kembali berkumandang untuk yang ketiga kalinya. Niatkan hati untuk beribadah semata-mata karena Allah. Tak lupa berdoa dan berdoa, karena hanya kepada Tuhanlah kita kembali.
Tiba saatnya mengaji asar. Kali ini mengaji Al Qur’an. Merenungi setiap ayat-ayat yang dibaca, diresapi, dan dipikirkan. Tapi sepertinya mustahil bisa seperti itu. Memikirkan hafalan saja sudah bikin pusing, apalagi dihadapkan sama ustaz yang killer. Rasanya mau pulang saja. Sebenarnya kalau dibilang killer itu kejauhan sih. Cuma karena bikin deg-degan jadi ya enggak bisa benar-benar fokus. Tapi yang penting sih bisa berangkat mengaji. Bisa menjalankan amanah orang tua. Dan yang utama adalah niat yang baik.
Selesai mengaji sore, dilangkahkan kakinya menuju kamar, kemudian ambil kitab majemuk, dan langsung menuju lantai 3. Hidup memang harus selalu memperbaharui niat. Niat kali ini adalah hafalan. Strategi tiap orang kadang berbeda. Kali ini memilih strategi menyepi dan bersantai. Berada di lantai 3 dengan ditemani angin sepoi-sepoi, perlahan membuka kitab majemuk. Dihadapkan dengan sebuah bait syair yang bermakna karya ulama terkemuka. Sedikit tapi pasti dimasukkan ke dalam otak untuk disetorkan kepada musyawir. Baru 15 menit, eh, tiba-tiba temannya nyamperin. Basa-basi bertanya, ya sudahlah hilang separuh hafalannya. “Mau bagaimana lagi? Entahlah.”
Saatnya menyudahi hafalan. Perut telah memberikan kode untuk segera diisi. Energi dalam tubuh perlu dipulihkan kembali. Memasuki dapur dengan menghirup aroma-aroma makanan. Dilihatnya piring sudah kosong, akhirnya makan kali ini menggunakan mangkok. Walaupun kelihatannya porsinya lebih kecil, tapi bisalah nambah 2 kali. Makan ala kadarnya, setelah selesai dicuci mangkoknya kebalikan ke tempat semula.
Belum sempat mengistirahatkan tubuh, sudah saatnya bersiap jamaah Maghrib. Sembari melihat matahari terbenam, suara langkah-langkah kaki serentak menuju tempat wudu. Setelah selesai menyucikan diri. Kembali kepada niat yang baik, menunaikan kewajiban Maghrib yang waktunya tak terlalu panjang. 3 rakaat telah selesai dilakukan. Kembali berdoa memohon kepada Illahi.
Setelah selesai ibadah Maghrib adalah waktu mengaji. Dibawanya kitab beserta perlengkapannya. Selalu istiqomah di bangku yang hanya itu-itu saja. Mengaji maghrib biasanya lebih banyak memberikan motivasi. Rasanya kalau mengaji maghrib seperti ingin bertobat. Mungkin itu bertujuan untuk mengevaluasi perbuatan kita setelah seharian beraktivitas. Ditambah mungkin tobatnya cuma sesaat, setelah itu hilang entah ke mana. Adzan isya’ di luar sudah berkumandang, tetapi di dalam pondok diundur setengah jam. Itu dikarenakan pendeknya waktu maghrib. Sehingga agar mengaji tidak terburu-buru, waktu isya’ di undur setengah jam.
Mengaji maghrib sudah dilalui, kembali ke kamar dan lagi-lagi belum sempat mengistirahatkan sejenak, toh adzan isya’ berbunyi. Waktu yang diperpanjang juga tidak terlalu panjang. Seperti yang sudah disebutkan waktu perpanjangan cuma setengah jam. Ditentengnya sajadah, berjalan seperti biasanya. Tujuan pertama adalah tempat wudu dan mengantri. Setelah selesai wudu lalu masuk aula kemudian menunaikan kewajiban 4 rakaat. 2 kali duduk tasyahud, salam tengok kanan kiri, lalu menyalami teman-teman disekitarnya. Saatnya berdoa meresapi motivasi dikala waktu mengaji maghrib. Meresapi motivasi itu pun kalau ingat, lagian orang juga bisa lupa.
Saatnya mengaji. Mengaji isya’ dilihatnya lebih menguras pikiran. Menyiapkan otak yang fresh, walaupun kadang malah jadi stres. Duduk di bangkunya masing-masing dan hanya membolak-balikkan buku catatannya. Fokus dengan pikirannya sendiri tanpa memedulikan teman yang ada di sekitarnya. Begitulah kami ketika sedang panik. Panik dicecar pertanyaan oleh ustaz/ustazah, karena konsekuensinya adalah berdiri sampai selesai mengaji. Disisi lain tidak semua ustaz/ustazah memberlakukan berdiri sampai selesai mengaji. Mungkin ada yang cukup memberikan konsekuensi berdiri 15 menit. Tetapi cukuplah untuk menguji mental. Pelajaran mengaji isya’ memang terbilang rumit, atau bisa dikatakan sulit. Tidak cukup hanya mengandalkan rujukan hadis, tetapi membutuhkan logika yang benar-benar harus bekerja dengan baik. Orang yang fokus sekalipun belum benar-benar bisa memahami pelajaran. Apalagi yang hanya bermodal berangkat karena takut ta’ziran.
Dilihat jam dinding yang berada di tembok belakang. Rasanya seperti detik menjadi menit. Dalam hati bertanya “kapan mengaji akan selesai?” otak-otak masih harus bekerja disisa mengaji kali ini. “Saya akhiri pelajaran kali ini..”, pikiran-pikiran kembali melayang dan materi pun ikut melayang. Saatnya berdiskusi bersama teman-teman sekelas. Suasana kelas menjadi riuh dengan uneg-unegnya sendiri. Ketua kelas segera mengondisikan suasana kelas. Sembari mengistirahatkan sejenak, saling menjelaskan satu sama lain, bertukar pikiran, bahkan ada yang hanya bercerita semaunya sendiri. Sudahlah, konsekuensinya saja ditanggung sendiri.
Pukul 21:30 WIB, diskusi selesai dilakukan. Tubuh-tubuh berjalan menyusuri jalan setapak menuju sebuah tempat peristirahatan sementara. Dibukanya kamar dengan samar, mengembalikan buku pada tempatnya, duduk sembari menyandarkan tubuh ke tembok. Kembali membuka curhatan bersama teman-teman. Canda tawa riang di malam hari kembali terdengar. Perut-perut sepertinya membutuh asupan. Segera bangkit mengambil uang, mengajak teman lainya untuk jajan ke koperasi. Jajan seperlunya untuk mengganjal perut dikala lapar malam.
Perut sudah terkondisikan. Sayup redup mata mulai mengantuk. Jam dinding sudah memanggil untuk segera tidur. Karpet yang sederhana berselimut tanpa bantal. Itu cukup untuk mengistirahatkan tubuh kami. Setidaknya tubuh bisa benar-benar beristirahat setelah seharian beraktivitas. Disandarkan tubuh beralaskan karpet dan berselimut, sayup mata kembali terpejam. Pikiran kembali ke alam mimpi yang tak terlalu panjang. Sempurna sudah aktivitas seharian. Terimakasih,
[…] berjalan pelan menuju kamarnya. Kehidupan di pondok pesantren jauh dari ekspektasinya. Dulu Rasya berpikir jika di pondok mungkin dia bisa mengenal teman dari […]
[…] lek ngaji, mergo semakin kurange wong ngaji donyone ambyar. Jika kau hanya main-main di pesantren lebih baik pulang habis itu […]
[…] Bel berbunyi dengan nyaring, tanda seluruh santri harus bangun tidur untuk memulai aktivitas rutin di Pondok Pesantren Miftakhul Falah. Pukul 03.30 WIB tepat, keamanan pondok akan membunyikan bel […]