pptialfalah.id – Setelah menjalankan ibadah satu bulan penuh berpuasa, Umat Islam merayakan kemenangan atas mereka. Yaitu, perayaan Idul Fitri yang terlaksana pada 1 Syawal. Di Indonesia, masyarakat merayakan tradisi Idul fitri dengan penuh suka cita bersama keluarga, handai tolan, tetangga, dan sesama umat Islam. Tak ketinggalan beragam sajian kuliner sebagai pelengkapnya. Mulai dari lontong, dendeng, terutama ketupat dan opor ayam. Tak lengkap rasanya bila saat perayaan hari Raya Idul Fitri tanpa kehadiran kedua makanan ini.
Keserasian antara ketupat dan opor ayam ternyata tak hanya cocok dari segi cita rasa saja, namun juga memiliki makna atau filosofi tersendiri. Selain adat dan kebiasaan tersendiri dari masyarakat Nusantara yang membuat kedua kudapan ini tak pernah terpisahkan.
Dalam tradisi jawa, nama ketupat diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada kisaran abad 14-15. Yang mengandung makna dari akronim “Ngaku Lepat” atau mengakui kesalahan dan “Laku Papat” (empat tindakan). Empat laku atau sisi dari ketupat bukan hanya dari segi bentuk saja, melainkan memiliki arti yaitu, cipta (pikiran), rasa, karsa (sikap), dan karya (perbuatan). Maksud kata perbuatan ialah segala tindakan yang berhubungan dengan diri sebagai manusia.
Prosesi ngaku lepat diimplementasikan dengan meminta maaf atau sungkem kepada orang yang lebih tua. Dalam tradisi ini, saat sungkem atau bersalaman sembari mengucapkan “ngaturaken sedaya lepat, kulo nyuwun pangapunten” (atas semua dosa dan kesalahan, saya meminta maaf).Dalam momen ini tercipta suasana yang saling menghormati antara yang lebih muda kepada yang lebih tua, juga mengasihi antara yang lebih tua kepada yang lebih muda, seperti anjuran dari hadist Nabi Muhammad SAW.
Sementara opor berasal dari ajaran konsep kehidupan yaitu ‘apura-ingapura’ atau ‘ngapuro’ yang memiliki arti memaafkan.
Makna Keserasian Ketupat dan Opor Ayam
Melansir dari Kompas.com. Menurut Chef Wira Hardiansyah, keterkaitan antara ketupat dan opor ayam ini ternyata berhubungan dengan kebiasaan orang Jawa yang disebut ‘otak atik gathuk’ (mencocokkan sesuatu sebagai pengingat atau papeling). Masyarakat mengartikan dan mengaitkan sebagai hubungan antara hablum minannaas (hubungan antara manusia) dan hablum minallah (hubungan hamba dengan Allah).