Beranda Artikel Urgensi Nasionalisme dan Budaya Literasi di Pesantren (Esai)

Urgensi Nasionalisme dan Budaya Literasi di Pesantren (Esai)

976
3
urgensi literasi

Perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan penjajahan demi memperoleh kemerdekaan harus melalui proses panjang dan lama. Puncaknya adalah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Kemerdekaan yang telah diraih ini tak luput dari peran para Ulama yang memimpin umat Islam untuk memerangi penjajah. Sebagai contoh perlawan pimpinan K. H. Abdul Karim, bersama santri Cirebon. (Jumrotul Inayah 2017).

KH Hasyim As’ari (Pendiri NU) mengatakan bahwasannya “hubbul wathon minal iman yakni nasionalisme adalah bagian dari iman,” ujarnya. Nasionalisme adalah rasa cinta tanah air dan rela berjuang membela kepentingan bangsa dan negara. Rasulullah Muhammad SAW sangat mencintai tanah kelahirannya, yaitu Mekkah maka sebagai umatnya kita harus mengikuti apa yang dilakukan rasulullah yakni mencintai tanah kelahiran kita. K. H. Said Aqil Siradj (Ketum. PBNU) juga menegaskan bahwasannya indonesia harus merasa gembira dan bangga mendapatkan penghargaan dari Tuhan karena lahir dengan kodrat beragam. Bangsa Indonesia telah disiapkan oleh Tuhan untuk selalu hidup berdampingan antar umat beragama.

Antara nasionalisme dan Islam harus saling memperkuat, keduanya tidak bisa dipertentangkan adanya. Nasionalisme yang merupakan bagian iman umat Islam rakyat Indonesia, khususnya warga NU telah diajarkan sejak zaman K. H. Hasyim Asy’ari, yang pada masa itu ulama-ulama Timur Tengah tidak ada yang berani mengatakan nasionalisme bagian dari keimanan umat islam. “Jadi negara-negara Arab ulamanya masih menolak, karena nasionalis itu dari luar, asing bagi ulama-ulama Arab. Kita melalui K. H. Haysim Asy’ari, menegaskan nasionalisme itu bagian dari iman kepada Tuhan. Di Timur Tengah, tidak ada ulama mengatakan nasionalis bagian dari iman, nasionalis bukan dari agama,” ungkap KH Aqil Siroj dalam peluncuran buku ‘Miqat Kebinekaan’.(Noval Dwinuari Antony 2017)

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang ada di Indonesia. Banyak tokoh ulama besar yang lahir dari pondok pesantren. Dalam menanamkan sikap nasionalisme bagi santri dilingkungan pondok pesantren diterapkan dengan memberikan pendidikan karakter melalui wadah ekstrakulikuler yang meliputi:

  1. Organisasi
  2. Public speaking
  3. Leadership
  4. Upacara bendera
  5. Ro’an atau gotong royong
  6. PHBI (Peringatan Hari Besar Islam)

PHBI dapat dijadikan sebagai momentum dalam menanamkan sikap nasionalisme berdasarkan pandangan Islam.

Kyai H. M. Zoemri RWS pendiri PPTI Al Falah Salatiga merupakan salah satu contoh dari banyaknya tokoh ulama yang berasal dari lingkungan pesantren. Beliau adalah sosok ulama yang memiliki jiwa Nasionalisme yang tinggi. Dalam salah satu ungkapan beliau ketika rapat pembangunan SMK di pondok bahwasannya “Tujuan saya membangun SMK Al Falah tidak lain adalah untuk ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.” Ini membuktikan bahwa rasa cinta tanah air beliau kepada bangsa sangat tinggi.

Selain rasa Nasionalisme, literasi juga harus selalu dibudayakan di lingkungan pesantren. Budaya literasi adalah kebiasaan berpikir yang diikuti proses membaca menulis, yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam proses kegiatan tersebut menciptakan karya. (Elly Damaiwati 2016)

Tradisi literasi di kalangan pesantren sudah mengakar kuat, tradisi literasi tersebut adalah kitab kuning. Di lingkungan pesantren,  kitab kuning merupakan identitas dirinya yang membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya, bahkan bisa dikatakan bahwa suatu lembaga pendidikan tidak bisa disebut pesantren jika di dalamnya tidak mengkaji kitab kuning.

Secara kultural pengajaran kitab kuning telah menjadi ciri khusus di pesantren dan tetap berjalan sampai saat ini. Peran lembaga pesantren dalam meneruskan tradisi keilmuan klasik sangatlah besar dan menjadikan kultur keislaman yang khas yang berbeda dengan kultur keislaman di lembaga pendidikan yang lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kitab kuning merupakan akar tradisi literasi pondok pesantren.

Ada 4 unsur yang perlu dikembangkan dalam rangka penguatan budaya literasi di pondok pesantren, di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Pengembangan Perpustakaan Pondok Pesantren

Perpustakaan adalah tempat yang didalamnya terdapat perhimpunan segala macam informasi, baik yang tercetak maupun yang terekam dalam berbagai media yang dipergunakan untuk kepentingan belajar melalui kegiatan membaca dan mencari informasi. Dengan manfaat yang begitu besar sayangnya perpustakaan bagi kalangan pondok pesantren belum mendapatkan perhatian yang serius, hal ini dibuktikan dengan keberadaannya di pondok pesantren yang masih minim. Dengan demikian, agar terwujudnya budaya literasi di pondok pesantren, maka hal pertama yang perlu dikembangkan adalah keberadaan perpustakaan yang bersih, nyaman dan memiliki fasilitas yang lengkap agar menarik minat bagi kalangan santri.

  • Koleksi Buku atau Kitab

Terwujudnya budaya literasi di pondok pesantren tidak bisa luput dari adanya koleksi buku atau kitab. Dengan adanya koleksi buku atau kitab di pondok pesantren diharapkan dapat mencukupi kebutuhan bagi santri. Jika koleksi buku atau kitab lengkap maka akan memudahkan bagi kalangan santri untuk mencari referensi atau sekedar menambah wawasan sehingga meningkatkan minat baca bagi santri, sebaliknya jika koleksi buku atau kitab minim maka santri akan malas untuk berkunjung ke perpustakaan. Pengembangan koleksi buku atau kitab tersebut bisa dilakukan dengan cara membeli buku secara langsung ke toko buku atau kitab, pemesanan lewat penerbit, hibah/hadiah, atau bahkan sumbangan dari para alumni, pemerintah setempat, perusahaan, dan lain sebagainya.

  • Pembiasaan Membaca dan Menulis

Penggunaan kitab kuning di kalangan pesantren sudah lama diajarkan dan dibudayakan. Dengan menulis makna kitab dan membacakannya ketika dihadapan ustadz merupakan kegiatan yang umum dilakukan santri. Tujuan pembiasaan ini adalah agar santri terlatih dalam hal pelafalan dan mempunyai mental ketika berhadapan berdialog dengan orang lain. (Abu Maskur 2019)

KH. Bahauddin Nur Salim dalam satu ceramahnya menjelaskan mengenai kehebatan dari membaca. Bagi Gus Baha’ membaca bisa menjadikan seseorang tidak kafir. Gus Baha’ mengatakan demikian untuk memotivasi umat agar tidak meremehkan pentingnya membaca. Gus Baha’ memberikan contoh bahwa dalam suatu kasus terdapat seorang yang ingin masuk Islam sehingga ia datang kepada seorang ustaz. “Ya Syaikh, ajarkan saya membaca syahadat, saya ingin masuk Islam.” Karena sang ustaz adalah orang Jawa dan memegang etika orang timur, maka sang ustaz tidak langsung mengajarkan syahadat. Ustaz tersebut malah mempersilahkan orang yang masih kafir tersebut untuk duduk-duduk sambil meminum kopi.

Dalam ajaran madzab Syafi’iyah, justru ustaz ini bisa menjadi kafir. Dalam kasus di atas, sang ustaz memiliki kuasa untuk menjadikan tamunya menjadi muslim, tetapi malah menunda-nunda. Andaikan orang yang hendak masuk Islam tersebut meninggal ketika minum kopi maka dia masih kafir karena belum sempat mengucapkan syahadat.

Akibat tidak membaca kitab, ustaz tadi telah menyebabkan seorang yang hampir masuk Islam tetapi gagal, Dalam hal demikian lebih diutamakan mengajarkan membaca syahadat daripada mempersilakan minum karena hal tersebut merupakan hal yang darurat dan harus segera ditolong. Hal-hal yang fardhu kifayah seperti ini menjadi wajib bagi orang yang pertama melihat. Lebih-lebih hal tersebut adalah persoalan aqidah bukan persoalan fisik yang menyebabkan seorang kafir. Ini lah pentingnya membaca dengan menganalisis. (Hafidhoh 2020)

Jadi kesimpulannya adalah nasionalisme dan budaya literasi harus selalu di ajarkan di pesantren. Nasionalisme yang telah dicontohkan para ulama bertujuan agar umat Islam terutama santri dapat mempunyai rasa cinta terhadap tanah air Indonesia, tidak mudah mengkafirkan seseorang dan juga dapat menumbuhkan sikap toleran atas segala perbedaan yang ada di Indonesia. Dengan memberikan pendidikan karakter melalui wadah ekstrakulikuler yang meliputi: organisasi, public speaking, leadership, upacara bendera, ro’an atau gotong royong, PHBI (Peringatan Hari Besar Islam). Dengan adanya wadah ekstrakulikuler di pesantren santri diharapkan bisa menanamkan sikap nasionalisme berdasarkan pandangan Islam.

Budaya literasi juga sangat penting dilakukan oleh setiap santri, pasalnya dengan adanya literasi akan berdampak pada bertambahnya wawasan dan juga ilmu pengetahuan dari tiap santri. Selain itu, kebiasaan literasi juga mengasah keterampilan setiap santri untuk berkreasi dengan menciptakan inovasi-inovasi karya baru dalam dunia literatur, baik dalam literasi dengan membaca maupun menulis yang didasarkan pada Al Quran, Hadits, dan kitab-kitab kuning) Ada beberapa unsur yang perlu dikembangkan dalam rangka penguatan budaya literasi di pondok pesantren, yaitu pengembangan perpustakaan, koleksi buku atau kitab, dan pembiasaan membaca dan menulis bagi kalangan pesantren.

Referensi:

Antoy, Noval Dwinuari. (9 Juni 2017.) KH Said Aqil : Nasionalisme Bagian dari Iman (Berita). Diambil dari https://news.detik.com/berita/d-3525847/kh-said-aqil-nasionalisme-bagian-dari-iman.

Damaiwati, Elly. (26 Desember 2016.) Budaya Literasi (Opini-koran). Diambil dari https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/ois8w619.

Hafidhoh. (3 Oktober 2020.) Pentingnya Membaca menurut Gus Baha (Khazanah-literasi). Diambil dari https://www.harakatuna.com/pentingnya-membaca-menurut-gus-baha.html.

Inayah, Jumrotul. (2017). Mahabbah Ar-ras  Mul Studi Pikiran Habib Muhammad Luthfi bin Yahya 1969 M-2021, No. 02, 45.

Maskur, Abu. (2019). Penguatan Budaya Literasi di Pesantren, No. 01, 1-16.

Oleh: Amin Miftakhus Soleh
Juara 2 Lomba Essay dalam Rangka Memperingati Hari Aksara Internasional 2021 Unit Kegiatan Santri Perpustakaan PPTI Al Falah Salatiga

3 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini