Beranda Cerpen Cerpen: Ketukan Pintu Pembuka Hati

Cerpen: Ketukan Pintu Pembuka Hati

1502
1
Ketukan Pintu Pembuka Hati

Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu yang memecah heningnya suasana pada siang itu. Aku yang sedang tidur di ruang tamu, terkejut dan terbangun oleh ketukan itu, mataku yang masih belum terbuka dengan sempurna, melihat ibu sedang menuju ke depan untuk membukakan pintu.

“Assalamu’alaikum, Tante,” suara lembut khas seorang perempuan.

“Wa`alaikumussalam, Adelia,”  jawab ibuku.

“Iya Tante, Kak Fadhilnya ada?”

“Iya ada, itu di ruang tamu, ayuk masuk.” 

Aku langsung duduk dan melihatnya, ternyata perempuan tersebut adalah adik sepupuku  yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA/SMK. Dia menghampiriku dan duduk di sofa sambil tersenyum padaku.

“Ada apa, Dek?”

“Gini Kak …, aku mau minta tolong untuk ajarin baca Al-Qur’an yang benar dan fasih, soalnya aku rasa bacaanku masih banyak yang kurang bagus kak.”

Susana hening beberapa saat, kemudian dia kembali menjawab, “Bisa kan, Kak?” sambil menatap wajahku dengan penuh harapan.

“Iya insyaallah bisa, Dek,” jawabku agak ragu-ragu.

“Yeee, Alhamdulillah,  nanti untuk waktu sama tempatnya kakak aja yang atur.”

“Iya, Dek. Di masjid aja, habis sholat maghrib gimana?”

Ok! Siapppp,” jawabnya dengan wajah gembira dan penuh semangat

Tak selang beberapa lama, ibuku keluar sambil membawa sebuah camilan dan minuman. Kita ngobrol-ngobrol bersama sambil menikmati camilan dan minuman tersebut. Sudah cukup lama kita ngobrol-ngobrolnya, akhirnya dia berpamitan ingin pulang.

“Yauda, Tante, saya mau pulang dulu sudah sore.”

“Iya, kapan-kapan main sini lagi ya,” jawab ibuku.

“Siap Tante.., eh iya Kak jangan lupa ya, Kak,” jawabnya sambil menatap tajam ke arahku.

“Iya-iya,” jawabku.

Yauda, Assalamu`alaikum.”

“Wa`alaikumussalam,” jawabku dan ibu serentak.

Kemudian setelah itu aku bergegas untuk mandi dan melaksanakan Salat Asar. Setelah itu, aku langsung mencari buku catatan pelajaran-pelajaran waktu masih di pesantren dulu untuk mempelajarinya kembali. Setelah menemukannya, aku merasa sangat senang dan bersyukur. “Alhamdulillah, aku pernah menggeluti dunia pesantren yang penuh cerita dan pengalaman-pengalaman yang mengesankan. Kurang lebih selama 7 tahun, dan mungkin ini waktu yang tepat untuk mengamalkan ilmu yang aku peroleh dulu.”

Aku istirahat sebentar, tak lama kemudian terdengar suara adzan dari masjid depan rumahku, aku pun bergegas untuk siap-siap salat berjama`ah di masjid. Setelah selesai melaksanakan sholat berjama`ah, karena aku ada janji sama sepupuku tadi, jadi aku duduk-duduk di teras masjid sambil menunggu dia datang.

Setelah agak lama aku menunggu, akhirnya dia datang juga. Tetapi dia tak sendirian, dia bersama seorang perempuan yang cantik dan manis. Awalnya aku melihat biasa-biasa saja, tetapi ketika ia menganggukkan kepalanya padaku, seperti ingin melontarkan sebuah kalimat dengan disertai senyumannya yang begitu masyaallah, membuat hatiku berdetak kencang dan hati ini  serasa terbuka lebar dan mengeluarkan bunga-bunga yang indah bermekaran dari dalamnya.

Dia berjalan menghampiriku bersama adikku, ku pandang terus wajah yang penuh inspirasi itu, hingga akhirnya.

“Bang, saya pulang dulu, ya,” sapa seorang jama`ah yang hendak pamit.

“Oh iya belum!” jawabku spontan saking terkejutnya hingga membuat jawaban yang tak sesuai. Kemudian aku langsung menyahutinya kembali, “Maaf, Bang. Maksudnya iya silakan.”  Aku sangat malu, melihat abang itu menaiki sepedanya dengan wajah yang penuh tanda tanya.

“Asslamu`alaikum,” ucap mereka berdua.

“Wa`alaikumusalam.”

Kemudian mereka berdua duduk di hadapanku,  adikku lebih dekat denganku sedangkan si perempuan itu duduk di samping adikku  sambil menundukkan kepalanya.

“Kenalin, Kak, ini temen aku, Nisa’, temen deket juga sekelas ngajiku dulu Kak,” jelas adikku.

“Oh iya, mau ikut ngaji juga?”

“Iya Kak, boleh, kan?”  jawab adikku dengan penuh harapan,  dan si Nisa itu menatapku dengan senyuman manisnya, sambil menganggukkan kepala seraya berkata, “Iya Kak.”

Aku pun merasa sangat senang dan lebih bersemangat setelah mengetahui hal tersebut. Akhirnya, kita pun ngaji bersama-sama. Ketika selesai menyimak bacaan Al-Qur’an adikku, selanjutnya aku menyimak bacaan Nisa, seketika itu jantungku berdebar kencang mendengar suaranya yang lembut dan indah itu, tak ku sangka suaranya sangat merdu dan bacaannya pun sudah banyak yang benar, disinilah aku semakin tertarik padanya, sampai-sampai aku membayangkan dia menjadi pendamping hidupku kelak.

Setelah selesai membacanya, aku bertanya padanya, “Masyaallah, suara dan bacaan adek udah bagus, apa sebelumnya adek pernah mondok?”

“Alhamdulillah iya, Kak, pernah, tapi ngak lama si cuman 3 tahunan aja, Kak.”

“Oh iya, Dek. Ndak papa udah bagus kok.”

“Iya, Kak. Alhamdulillah,” jawabnya sambil tersenyum padaku.

“Ehem!, ehem!, ciyeee Kakak”

“Eh, kamu ini apaan si Dek, itu pelajari lagi bacaannya, masih banyak yang kurang tepat tadi,” tegurku sambil mengalihkan perhatian.

“Iya, Kakakku yang ganteng …, ehem! Ehem!”

Tak lama kemudian adzan isya` berkumandang, aku pun mengajak mereka untuk bersiap-siap sholat berjama`ah, “Yuk, kita sholat dulu.”

“Iya, Kak,” jawab mereka berdua.

Setelah selesai sholat berjama`ah mereka berdua menghampiriku untuk berpamitan pulang, sedangkan aku masih berbincang-bincang bersama temanku.

“Kak, aku sama Nisa pulang duluan, ya?”

“Iya, Dek. Hati-hati, langsung pulang, ya,” pesanku pada mereka.

“Iya, Kak. Assalamu`alaikum,” ucap mereka berdua, sorot mata Nisa masih menatapku.

“Wa`alaikumussalam,” jawabku.

Keesokan harinya masih sama seperti itu, begitu juga setiap harinya. Dengan seringnya pertemuan itu, aku dan Nisa juga semakin dekat, saling mengetahui sifat masing-masing, aku merasa sangat senang dan nyaman bisa dekat dengannya.

Pada suatu saat aku melihat adikku datang sendirian tanpa adanya Nisa. Aku gelisah melihatnya. Aku pun bertanya pada adikku, “Dek, kok sendirian? Nisa kemana?”

“Nisa katanya sedang sakit, Kak, jadi malam ini ngak bisa ngaji bareng kita deh.”

“Oh gitu, yauda ayuk kita mulai aja ngajinya,” jawabku dengan rasa gelisah.

Setelah selesai ngajinya, tiba-tiba adik aku bilang, “Kak, aku pengen ngomong sesuatu sama kakak,” ucapnya dengan wajah serius.

“Iya Dek, mau ngomong apa?” jawabku dengan penuh tanda tanya.

“Kakak ada rasa sama Nisa?”

Adek ni apaan si,” jawabku malu-malu.

“Aku tau kok, kalo Kakak tu suka sama dia, sebenernya dia juga suka loh sama Kakak, dia pernah cerita sama aku, kalo dia tu sebenernya udah lama suka sama Kakak, waktu Kakak pulang dari pesantren, aku melihat dia setiap kali pulang jama`ah di masjid, dia selalu memandangi Kakak, waktu itu dia belum tau kalo Kakak itu saudara aku, makanya dia berani terang-terangan sama aku, dia juga pengen sekali bisa deket sama Kakak, makanya mumpung ada kesempatan aku ajak dia ngaji bareng sama Kakak, agak maksa si soalnya waktu itu dia udah tau kalau Kakak itu saudara aku, jadi dia malu-malu, tapi akhirnya mau juga kan, Kak. Gimana? Keren, kan, Kak”.

“Ya Allah,  kamu ni, Dek,”  jawabku agak terkejut.

Hehehe, ngak nyangka ya.”

Aku pun terdiam sesaat, untuk merenungi ceritanya, aku bener-bener nggak nyangka sama sekali, sangat bahagia mendengarnya sampai-sampai aku nggak bisa ngomong apa-apa sama adikku, akhirnya waktu Sholat Isya` telah tiba kita pun sholat berjama`ah.

Keesokan harinya,  dia sudah bisa hadir dan aku merasa sangat seneng sekali bisa melihatnya, serasa telah berpisah lama sekali, setelah itu  kita pun menjalani kegiatan seperti biasanya.

Sampai pada waktunya, aku akan menempuh perkuliahan di luar kota, dan tinggal disana sementara waktu, jadi aku  tidak bisa menemani mereka belajar lagi.

Pada pertemuan malam terakhir aku gunakan waktu itu untuk berpamitan pada mereka, aku sangat sedih begitu juga dengan mereka, apalagi si Nisa, dia sempet meneteskan air mata, setelah bilang pada mereka, aku tak tahan melihatnya dan aku berusaha untuk menguatkannya.

“Kita tidak berpisah selamanya, kita hanya berpisah sementara aja kok,” ucapku sambil menahan air mata ini agar tidak menetes.

Sebenarnya aku tak kuat meninggalkannya tapi mau gimana lagi, aku harus menggapai apa yang ku impi-impikan selama ini.

Keesokan harinya aku berangkat ke luar kota bersama teman-temanku.

Di sana aku selalu memikirkan Nisa sampai-sampai aku pernah tak makan seharian, salah satu temanku memaksa untuk makan tetapi selalu aku tolak, kemudian dia mengatakan kepadaku, “Udah lah, yang di sana itu jangan selalu kau pikirkan, titipkan saja kepada Allah, dan doakan semoga mereka semua baik-baik saja, sehat selalu, terhindar dari marabahaya dan jangan lupa kirim surat, surat Al-Fatihah maksudnya, gitu Dhil,  kamu harus fokus pada tujuanmu saat ini jangan sampai gara-gara mikirin mereka yang disana kamu jadi tidak fokus sama tugas-tugasmu di sini,” ucapnya, sambil memberikan saran padaku.

Setelah itu dia meninggalkanku sendirian, dan aku memikirkan apa yang dia katakan barusan, kurasa semua itu benar, akhirnya dari situ aku mulai bisa fokus ke tujuanku, meskipun terkadang masih teringat dirinya setiap kali aku teringat padanya, aku kirim surat Al-fatihah untuknya, dengan harapan dia baik-baik saja di sana.

Beberapa tahun ku lewati dengan rasa rindu yang membara, akhirnya sebentar lagi selesai sudah perkuliahanku  aku ingin sekali cepat-cepat bisa berjumpa dengannya, aku juga mempunyai niatan setelah lulus langsung melamarnya. Tetapi suatu ketika aku mendapat kabar  bahwa dia dilamar seseorang, disini aku bener-bener merasa sangat terpukul mendengarnya, sudah hancur harapanku selama ini, setiap kali aku teringat aku selalu menangis, merasa tak ada harapan lagi.

Dan pada akhirnya setelah  lulus aku kembali ke kotaku, yang seharusnya aku senang dan bahagia karena hari yang ku tunggu-tunggu selama ini telah tiba, tetapi itu semua terbalik aku merasa kehilangan sesuatu yang selama ini aku harap-harapkan.

Setelah sampai rumah aku langsung menuju kamar,  seharian tak keluar karena disamping capek aku juga merasa tak ada  semangat sama sekali, makan mandi juga tak selera, sampai beberapa hari aku hanya terbaring di ranjang sambil meratapi nasib ini. 

Orang tuaku tentu heran dan khawatir dengan keadaanku yang seperti ini, mereka tidak tau apa yang sebenarnya terjadi padaku.

Sampai pada suatu hari adik sepupuku tau aku sudah di rumah dan keadaanku yang seperti ini, dia langsung mendatangiku di rumah.

“Tok! Tok! Kak!”

Aku mendengar ada yang mengetuk pintu kamarku dan suara adik sepupuku, langsung ku suruh dia masuk, “Masuk aja dek ndak dikunci.”

“Kakak,” ucapnya sambil menghampiriku dengan wajah yang gembira seakan-akan melepas kerinduan selama ini.

Kemudian dia berkata, “Aku tau kok gimana perasaan Kakak setelah aku kasih kabar seperti itu, pasti sakit rasanya, tapi aku sekarang ada kabar gembira buat Kakak.”

“Kabar apa itu?” tanyaku dengan rasa penasaran.

“Ternyata Nisa ngak jadi dinikahi sama orang yang melamarnya waktu itu, Kak.”

“Kamu yang bener, Dek!” tanyaku dengan terkejut penuh harapan

“Iya Kak beneran, sebenernya Nisa itu di jodohkan sama orang tuanya dan sudah dipersiapkan semua untuk proses pernikahannya, tetapi dari si lelaki itu melihat Nisa yang selalu cemberut seperti nggak setuju dengan pernikahan itu jadi si lelaki itu bertanya padanya, ternyata kata Nisa dia sedang menunggu seseorang yang ia cintai selama ini, ia menceritakan semuanya kepada lelaki itu, seketika itu si lelaki membatalkan pernikahannya,  karena merasa kasihan padanya, dan akhirnya pernikahan itu batal, Kak.”

Setelah mengetahui itu semua aku merasakan ada keajaiban, merasa hidup kembali, aku sangat bersyukur, gembira yang tak bisa aku jelaskan dengan kata-kata. 

Tak menunggu lama-lama esok harinya aku ajak orangtuaku mendatangi rumahnya, untuk melamarnya, Alhamdulillah tak butuh waktu lama, seketika itu dia langsung menerima lamaranku dan kelihatan sangat bahagia sampai meneteskan air mata kegembiraan.

Akhirnya pun, kita menikah dan menjalani hidup bersama.

“Jika sudah jalannya, sebanyak apapun rintangan dan halangan, pasti kita bisa melewatinya.”

Oleh: Rahmat Fajar S

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini