Kriing… Bel berbunyi dengan nyaring, tanda seluruh santri harus bangun tidur untuk memulai aktivitas rutin di Pondok Pesantren Miftakhul Falah. Pukul 03.30 WIB tepat, keamanan pondok akan membunyikan bel dan berkeliling pondok untuk membangunkan santri. Seluruh santri wajib mengikuti kegiatan mujahadah sebelum subuh. Dengan kegiatan ini, setiap santri diharapkan terbiasa untuk bangun bagi dan melaksanakan sholat tahajud.
Setelah mujahadah dan sholat Subuh berjamaah semua santri akan mengikuti ngaji pagi sesuai kelasnya masing-masing. Begitu juga dengan aku, Nailil Sa’adah, santri pesisir yang sekarang sedang menempuh kelas Alfiyah Tsani, yaitu kelas kurikulum tertinggi di pondok pesantren ini. Untuk bisa sampai ke kelas Alfiyah Tsani, aku harus menempuh kelas Jurumiyah, Imrithi, Alfiyah Ula. Setiap kelas di tempuh dalam waktu satu tahun, jadi sudah hampir 4 tahun aku belajar ilmu agama di pondok pesantren ini. Aku masuk di pondok pesantren ini, bersamaan dengan aku masuk sekolah menengah atas (SMA) yang ada di dekat pondok ini. Jadi, ketika aku menempuh kelas Alfiyah Tsani, aku sudah tidak sekolah lagi, atau lebih tepatnya aku telah menjadi santri salaf tulen. Teman-teman sekolahku, setelah pengumuman kelulusan sibuk mencari kampus dimana mereka akan kuliah, ada yang mengikuti tes SNAMPTN, SBMPTN, UMPTKIN, dan tes-tes yang lainnya. Tidak dengan aku, di pondok aku masih harus menempuh kelas Alfiyah Tsani. Dalam hati kecilku, sebenarnya aku ingin seperti mereka, melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan, sibuk berjuang untuk masuk di kampus yang di inginkan, tapi aku berusaha menghibur diri, dan aku percaya, setelah aku menyelesaikan Alfiyah Tsani, aku pasti bisa kuliah seperti teman-temanku yang lainnya.
Pagi ini aku bangun terlambat, aku baru sadar dari mimpiku ketika mujahadah pagi sudah dimulai. Dengan spontan, aku berlari ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan mengikuti mujahadah pagi. Setelah sholat Subuh berjamaah usai, aku ganti baju dan berangkat ngaji. Fan (pelajaran) pagi ini adalah nahwu, kitab yang di kaji adalah Alfiyah Ibnu Malik karya Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Kitab ini diampu langsung oleh Abah K. H. Mukhlasin, beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Miftakhul Falah.
Pada tahun ini, pondok akan mempunyai hajat besar, yaitu pemilihan lurah baru dan pergantian pengurus. Kandidat calon lurah diambil dari pengurus dan manba’dahum, manba’dahum adalah sebutan bagi santri yang masih mengabdi di pondok. Banyak dari teman-temanku yang mengejek dan membully-ku bahwa aku adalah calon lurah periode selanjutnya. Aku hanya diam ketika teman-temanku mengejekku begitu. Dalam hatiku berkata, “tak mungkinlah aku menjadi lurah di pondok ini, secara aku tak bisa berbuat apa-apa untuk pondok ini.”
Pagi ini, setelah mengaji aku mendapat giliran memimpin musyawarah kelas. Ketika aku masuk ke kelas untuk memulai musyawarah, tiba-tiba sahabatku Alina, mengejekku.
“Awas-awas Bu Lurah datang, semuanya diam, nanti kena marah Bu Lurah,” ucap Alina.
“Hussst… Ngomong apa sih kau Alina,” gerutuku.
“Yeee.. Bu Lurah marah,” ejek Alina lagi.
Semua teman- teman yang ada di kelas tertawa. Aku hanya diam menanggapi mereka dan langsung saja memulai musyawarah.
Setelah selesai musyawarah, Alina menghampiriku.
“Nay, kenapa sih kamu ngebet banget pengen kuliah?” tanya Alina padaku.
“Lin, bukannya aku nggak betah di pondok ini, tapi kamu tahu kan di zaman sekarang ini, kita harus bisa mengimbangi antara ilmu agama dan ilmu umum. Merurutku, lulusan SMA itu belum cukup menjadi bekal kita untuk masa depan nanti, masih banyak ilmu dan pengalaman yang harus kita cari, apalagi kamu tahu kan Lin, mbak- mbak yang mengabdi disini bisa keluar pondok karena alasan apa? Alasan menikah kan, Abah pasti nggak akan mengizinkan santrinya boyong dari pondok selain karena sekolah lagi atau menikah. Dan aku nggak mau jika harus keluar pondok ini karena alasan menikah. Bagiku ilmu agama itu sangat penting Lin, tapi kita juga harus mengimbanginya dengan ilmu umum. Dan ketika aku kuliah nanti, aku tidak akan melepas statusku sebagai santri, aku akan tetap mondok di pondok pesantren yang dekat dengan kampusku kelak. Kamu jangan khawatir Lin, aku nggak pernah bosan menjadi santri, bahkan aku sangat bangga bisa menjadi santri,” ucapku panjang lebar.
“Baiklah, dimana pun kamu nanti, jaga dirimu baik-baik Nay. Dan jangan lupa jaga almamater pondok ini,” ucap Alina.
Malam Jum’at ini seluruh santri dikumpulkan di aula. Mereka di beri selembar kertas untuk menulis satu nama yang menurut mereka pantas dijadikan kandidat calon lurah. Yang boleh dipilih adalah seluruh pengurus dan manba’dahum. Tidak tahu kenapa tiba-tiba hatiku menjadi deg-degan. Pada pemilihan ini akan diambil sepuluh besar untuk kemudian di pilih lagi menjadi tiga besar yang akan menjadi kandidat. Setelah semua santri memilih, panitia pemilu langsung menghitung hasil pemungutan suara. Dan tak ku sangka aku memperoleh suara terbanyak dan masuk sepuluh besar.
Dua hari kemudian, pemilihan untuk 3 calon kandidat lurah dilaksanakan, hatiku makin tak karuan dan takut jika aku menjadi salah satu di antara tiga calon kandidat lurah. Perhitungan suara kali ini tidak dilaksanakan secara langsung, tetapi di hitung sendiri oleh panitia pemilihan lurah.
Malam ini, akan diadakan rapat terakhir untuk untuk Akhirrussanah generasi ke-23 Alfiyah Ibnu Malik, yaitu wisuda generasi angkatanku. Setelah perjuangan panjang yang kami lakukan, pengorbanan yang kami berikan, tak lama lagi kami akan diwisuda. Dalam rapat ini semua koordinator panitia melaporkan seberapa jauh persiapan mereka. Rapat selesai pukul 02.00 dini hari dan pukul 03.00 aku baru bisa memejamkan mata untuk istirahat. Aku terbangun ketika suara azan subuh berkumandang. Aku langsung beranjak dan berlari menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu dan mengikuti jamaah Subuh.
Setelah sholat berjamaah selesai aku dipanggil ke kantor. Saat aku membuka pintu kantor, di dalam sudah ada panitia pemilu, aku langsung di suruh masuk dan duduk. Fisaratku langsung tak enak, aku bisa menebak apa yang akan menjadi pembahasan. Tapi aku berusaha bersikap tenang.
“Sini Dek, duduk dulu, tunggu temanmu yang lain ya,” ucap Mbak Arista, panitia pemilu yang sekarang berada di depanku.
“Iya Mbak, mau apa ya Mbak, kok aku di panggil?” tanyaku.
“Tunggu aja, nanti kamu juga akan tahu,” jawab Mbak Arista singkat.
Tak lama kemudian, yang ditunggu pun datang, Amalia dan Mbak Nida masuk ke kantor. Mbak Arista langsung memulai pembicaraan.
“Oke, karena semuanya telah berkumpul, maka langsung saja, berdasarkan hasil pemungutan suara sesi 2 kemarin, kalian terpilih menjadi 3 kandidat calon lurah pondok pesantren ini, dan seminggu lagi akan diadakan debat dan kampanye calon lurah, untuk itu sekarang kalian mengambil nomor urut untuk debat kampanye, silahkan siapa yang akan ambil duluan?” ucap Mbak Arista tenang.
Seketika itu juga aku langsung menangis sejadi-jadinya, dan aku enggan ketika aku di suruh untuk mengambil nomor undian, akhirnya aku mendapatkan sisanya setelah Amalia dan Mbak Nida mengambilnya. Ketika di buka aku memperoleh nomor urut 1, Mbak Nida memperoleh nomor urut 2, dan Amalia memperoleh nomor urut 3. Mbak Arista juga memberi tahu bahwa aku mendapatkan partai dengan nama partai bintang, Mbak Nida partai beringin, dan Amalia mendapatkan partai rantai. Setelah semua di rasa cukup, kami dipersilakan untuk keluar kantor dan mengikuti ta’alum pagi seperti biasanya serta mempersiapkan diri untuk debat dan kampanye yang akan datang.
Aku keluar kantor dengan lemas dan air mata yang terus mengalir membasahi pipi, aku nggak bisa membayangkan bagaimana aku nantinya, aku tidak siap untuk semua ini, aku ingin kuliah, tapi disisi lain aku juga tidak mungkin lari dari semua ini. Setelah ganti baju dan mengambil kitab, aku langsung berangkat mengaji dengan air mata yang masih menggenang, tapi berusaha aku tahan untuk tidak menangis lagi.
Sesampainya di kelas mengaji, kegiatan ta’alum telah di mulai, aku langsung saja masuk kelas dan duduk di pojok, semua mata tertuju padaku, mungkin teman-temanku telah mengetahui apa yang terjadi kepadaku. Aku tak berani menatap mereka, apalagi menatap Abah. Aku memalingkan mukaku ke tembok sampai kegiatan ta’alum ini selesai. Dan tidak ada satu pun penjelasan Abah yang masuk ke dalam otakku, pikiranku benar-benar buyar.
Setelah kegiatan ta’alum selesai, aku langsung keluar dan kembali ke kamar tanpa mempedulikan sekelilingku. Rasanya aku ingin tidur untuk melupakan sejenak apa yang telah terjadi. Ketika aku meletakkan kitabku di rak buku, tiba-tiba Alina masuk dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Langsung saja aku menjatuhkan tubuhku di pelukannya, aku menangis sejadi-jadinya. Dia membiarkanku menangis di pelukannya dan mencoba menenangkanku. Setelah tangisku sedikit reda, dia mulai bicara.
“Nay, mungkin ini memang jalan terbaik untukmu, kamu ini orang pilihan, belum tentu semua orang punya kesempatan sepertimu,” ucap Alina.
“Aku nggak mau Lin, aku nggak mau, aku mau kuliah,” ucapku sambil menangis.
“Udah Nay, kamu yang tenang, semua itu udah di atur oleh Allah SWT. Jika kamu di takdirkan untuk kuliah, pasti ada jalannya. Sekarang kamu hadapi dulu aja apa yang ada di depanmu, lakukan yang terbaik, serahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa, Dialah Sang Skenario hebat yang menjalankan kehidupan ini. Kamu adalah bagian dari penokohan-Nya, jadilah tokoh terbaik dalam skenario-Nya, insyaallah akan ada hikmahnya. Udah ya, kamu jangan nangis terus,” Alina berusaha menenangkanku.
“Tapi Lin, kamu tau kan gimana bapakku, dia pengen banget lihat aku kuliah, aku harus bilang gimana kepada bapakku,” aku masih saja ngeyel.
“Nay, dengarkan aku, bapakmu pasti bisa mengerti, kamu tinggal bicara baik-baik saja kepadanya, aku yakin bapakmu pasti bisa memahaminya. Udah ya, jangan nangis lagi, malu lho di lihat orang,” jawab Alina.
“Okelah Lin, makasi kamu selalu ada untukku.”
Setelah acara debat dan kampanye sukses dilaksanakan, kini tibalah acara puncak Pesta Demokrasi Pondok Pesantren Miftakhul Falah. Para santri antri satu persatu untuk menggunakan hak suaranya memilih calon lurah. Setelah pemilihan selesai, panitia pemilu langsung menghitung hasil pemungutan suara santri. Aku tidak berani keluar kamar, hatiku gelisah, aku hanya diam di dalam kamar, berdoa dan memasrahkan semuanya kepada Allah SWT atas apa yang akan terjadi setelah ini.
Terdengar dari kamarku, para santri bersorak-sorak, panitia pemilu mengumumkan bahwa perolehan suara terbanyak adalah Mbak Nida, diikuti aku. Maka diputuskan bahwa lurah pada periode ini adalah Mbak Nida, mendengar hal itu hatiku serasa disiram oleh air es, aku merasa lega, tapi disisi lain aku juga merasa khawatir karena aku berada di posisi kedua, ada kemungkinan aku akan dijadikan wakil lurah Mbak Nida. Dan ternyata, apa yang aku khawatirkan terjadi, aku diminta mbak Nida untuk mendampingi dia.
“Itu sudah keputusan dari ndalem, dan mau tidak mau kamu harus menerimanya,” kata Mbak Nida.
Aku ingin menolaknya, tapi tak mungkinlah jika itu keputusan ndalem, permintaan Abah sendiri. Aku nggak ingin boyong dari pondok ini tanpa mendapatkan Ridho Abah. Aku harus merelakan mimpiku untuk kuliah. Bukan merelakan, tapi mungkin menundanya, setelah aku menyelesaikan tugas disini, aku diperbolehkan boyong untuk kuliah.
“Mungkin ini memang yang terbaik, Abah sayang denganku, maka dia memberi tanggung jawab kepadaku agar aku bisa berhidmah di pondok ini, aku harus bisa sabar sebentar, dan menerimanya dengan ikhlas. Tentang kuliah, aku yakin jika sudah saatnya, aku pasti akan menempuhnya,” hatiku menguatkan diriku sendiri.