Tuhan menakdirkan segala tutur kata yang abadi dalam lengkung senja. Dalam satu kata kita, ucap perlahan dengan rasa, dalam alunan nada yang beriringan bersama luka maupun bahagia.
…
Keadaan setengah gelap di bumi setelah matahari terbenam, ketika piringan matahari secara keseluruhan telah hilang dari cakrawala.
Aku berusaha tetap menahan kakiku untuk tetap berdiri di depan aula pondok pesantrenku. Pikiranku tak terarah entah dari itu ke itu saja. Aku merasa bahagia setelah aku melihat teman-temanku mengatakan bahwa aku berhasil menjuarai kitab Riyadhol Badiah tingkat kabupaten dan akan segera dikirim ke tingkat provinsi. Pikiranku teringat kata-kata bapak padaku.
“Semangato lek ngaji, mergo semakin kurange wong ngaji donyone ambyar. Jika kau hanya main-main di pesantren lebih baik pulang habis itu menikah.”
Dari kecil memang aku selalu ditegaskan untuk bisa mengaji, bapak selalu mendukungku dengan hal yang membuatku bangkit dan semangat.
“Sudah Bapak bilang, kamu itu anak bapak yang hebat, jadi menurut Bapak kamu pasti bisa.”
Aku selalu terpaku dengan kata-kata yang dilontarkan bapak, namun tak bisa kupungkiri aku sangat termotivasi olehnya, aku berusaha menyanggupi amanah dari ustazahku untuk mewakili pondok pesantren mengikuti lomba baca kitab kuning tingkat kabupaten. Aku mendadak berhasil mengharumkan nama pondok pesantrenku sehingga semua ustaz dan ustazahku menebarkan senyuman terindahnya setiap mereka melihatku. Mataku berbinar memandangi mereka semua. Ragaku bertahan dan tetap berdiri tegak demi bapak yang selalu membuatku bisa berjuang seberat itu. Tak terbayang bapak dan ibu memelukku erat-erat dan meneteskan air mata. Aku bangga pada diriku sendiri. Tapi banggaku ini tak akan pernah aku jadikan panah kesombongan.
“Kamu memang anak bapak dan ibu yang hebat, Sara.”
“Terima kasih Pak, Buk. Ini semua berkat do’a Bapak, Ibu, Guru-guru, dan semua teman-teman.”
Kata-kata bapak yang membuatku selalu bangkit dan kelembutan doa ibu yang selalu mengalir di setiap kerasnya nadiku.
…
Aku berusaha menutupi semua ketakutanku untuk teman yang ku rasa tak menyukai hasilku, namun percuma tubuhku terasa lemas untuk menutupinya. Tanpa kusadari ternyata dari awal aku berdiri di sini ada pasangan mata yang memperhatikan keberhasilanku, aku baru menyadarinya setelah pasangan mataku bertemu dengan matanya. Mataku membesar karena kaget yang tak tersembunyikan. Ia mulai bergerak, berdiri dari tempat duduknya dan melangkah sedikit demi sedikit ke arahku. Aku berdebar dan kukunci kedua tanganku ke belakang karena jari-jariku tak bisa berhenti menari. Entah grogi, entah takut, yang jelas aku tak kuasa berdiri di bumi. Ia sudah tepat di depanku dan memberikan senyumannya padaku.
“Selamat ya, Sist! Kok kayak ada yang lagi dipikirin?” tanyanya penuh perhatian.
Tak kusangka ia akan sebaik ini padaku. Aku berusaha untuk tersenyum dan menjawab pertanyaannya walau agak terbata-bata. Namun, seolah-olah ia percaya dengan apa yang aku katakan, seperti ia tahu apa yang sedang aku rasakan. Aku tertunduk lemas dan berusaha menghentikan percakapanku dengannya.
Dia adalah sosok yang ku kagumi semenjak aku melangkahkan kaki ke pesantren ini, tepatnya setengah bulan yang lalu. Hari ini adalah hari pertama aku berbicara dengannya karena selama ini aku tak pernah menyempatkan diri untuk menyapa atau berbicara padanya. Bukan karena sibuk namun karena sedikit berpikir tak mungkin.
Perasaanku entah tak karuan dengan keadaan yang sebenarnya terjadi. Aku tetap bertahan karena bapak dan ibuk yang selalu menguatkan. Meski ibuk sendiri sedang sakit-sakitan di rumah. Inginku mengatakan pada guru-guruku bahwa aku tak bisa mengikuti lomba itu ke tingkat provinsi, tapi aku takut akan banyak yang kecewa padaku. Tapi, kalau aku tetap mengikutinya, aku khawatir dengan keadaan ibuk. Aku tak bisa memilih di antara kelebihan. Ingin aku kembali ke rumah menemani ibuk, atau tetap di sini dengan rasa takut? Pilihan yang sangat sulit bagiku. Meskipun bapak selalu berkata tidak akan ada apa-apa tapi sebenarnya ada apa-apa.
Bapak dan ibuk adalah sosok yang berharga bagiku. Sosok yang selalu menjagaku dari aku belum melihat apa-apa hingga aku sudah besar seperti ini. Pada akhirnya setelah aku mengiyakan niatku untu mengikuti lomba kitab kuning tingkat provinsi selama tiga hari di luar pondok pesantren. Setelah lombanya berakhir aku sampai di pondok lagi dengan kejuaraanku, tiba-tiba kakak sepupuku sudah berdiri tepat di depan kantor pondokku di temani segerombolan temanku dengan wajah yang membuat hatiku tercambuk. Semakin aku mendekati mereka, kakak sepupu memelukku erat-erat dan melontarkan perkataan yang terbata-bata.
“Nduk.. Ibumuu..” belum sempat kakak sepupunya selesai berbicara, Sara memotong perkataan kakak.
“Ibuk kenapa Mbak, Ibuk masuk rumah sakit lagi? Apa gimana Mbak, ngomong yang cepet dong Mbak!”
Kakak sepupunya tak bisa membendung air matanya yang semakin ingin berjatuhan. Lalu kakak sepupunya melanjutkan perkataannya tanpa terbata-bata agar semua cepat jelas.
“Ibu meninggal waktu mau Maghrib tadi Sar, aku kesini di suruh menjemputmu karena tepat jam delapan malam ibumu akan di makamkan.”
Sara percaya tak percaya, mulutnya serasa terkunci, hatinya terasa sakit seperti dicambuk. Air matanya menggenang dan mengalir begitu derasnya. Pada saat itulah senja menjadikan Sara selalu sedih ketika mengingat ibu. Pergi jauh hingga Sara takkan mungkin lagi bertemu dengannya, pergi untuk selamanya.
Di waktu senja.
[…] Semburat jingga di cakrawala […]